Senin, 21 Desember 2009

RELEVANSI

Saya sering menanyakan kepada peserta pelatihan saya: "Mana yang lebih mudah, belajar berjalan atau belajar statistika?" Hampir semua peserta akan menjawab bahwa belajar berjalan lebih mudah daripada belajar statistika. Mereka mengajukan bukti dari kenyataan bahwa jauh lebih banyak orang yang dapat berjalan daripada yang pandai statistika. Saya akan bertanya lagi: "Kalau begitu mengapa jauh lebih mudah menulis program komputer (software) untuk statistika daripada membuat robot berjalan?"

Saya membandingkan kegiatan belajar berjalan dan kegiatan belajar statistika karena keduanya melibatkan komputasi yang cukup rumit. Untuk dapat berjalan otak seorang anak atau pogram komputer di dalam sebuah robot harus memperhitungkan beberapa variabel sekaligus: besar dan arah gaya gravitasi; bentuk permukaan jalan; bentuk, susunan dan posisi otot; posisi tubuh; posisi dan gerakan benda-benda lain; dan lain-lain. Lalu otak harus mempertimbangkan suatu tindakan atau tanggapan untuk mengatasi atau memanfaatkan semua aspek tersebut. Otak harus melakukan semua itu secara bersamaan. Jadi ketika belajar berjalan otak mempertimbangkan dan menghitung begitu banyak variabel sekaligus dalam waktu yang singkat. Itulah sebabnya anak yang berumur satu tahun atau orang tua yang baru mengalami stroke ketika belajar berjalan akan terlihat kaku dan tertatih-tatih. Itu karena otak harus memproses semua variabel itu sekaligus, dan otak belum terlatih untuk melakukannya, sehingga pemrosesan berjalan tersendat-sendat. Sedangkan ketika belajar statistika variabel yang dipertimbangkan sangat terbatas. Itulah sebabnya para programmer lebih mudah menulis program komputer untuk melakukan perhitungan-perhitungan statistika daripada untuk membuat robot berjalan. Hal ini terbukti juga dari kenyataan bahwa program komputer yang harus dikembangkan untuk membuat sebuah robot, seperti ASIMO, dapat berjalan jauh lebih rumit dan lebih besar daripada program komputer untuk perhitungan-perhitungan statistika.

Lalu mengapa kelihatannya lebih mudah bagi seorang anak untuk belajar berjalan daripada untuk belajar statistika? Jawabannya adalah relevansi. Kemampuan berjalan sangat penting bagi kehidupan seorang anak, sehingga sangat relevan baginya. Karena itu seorang anak akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk belajar berjalan. Sedangkan ketika belajar statistika seorang anak biasanya tidak melihat relevansinya bagi kehidupannya, sehingga anak kurang termotivasi untuk mempelajarinya, walaupun secara implisit setiap individu melakukan perhitungan-perhitungan statistika dalam kehidupannya sehari-hari.

Pertimbangkan contoh lain: kemampuan manusia berkomunikasi memakai bahasa. Untuk dapat berkomunikasi memakai bahasa seseorang harus dapat memproses informasi yang disampaikan lawan bicara. Otak harus melakukan komputasi terhadap rangkaian frekuensi suara yang sampai kepadanya melalui telinga, dan memutuskan apa maknanya. Bayangkan berapa banyak kombinasi frekuensi yang harus dipertimbangkan otak, berapa banyak kombinasi kata-kata, berapa banyak kombinasi frasa, berapa banyak kombinasi kalimat. Otak juga harus mempertimbangkan nuansa pembicaraan, sesuatu yang tidak diucapkan, tetapi tersirat dari gerak tubuh dan raut muka lawan bicara. Sesudah memahami maksud lawan bicara, otak juga harus melakukan komputasi terhadap tanggapan yang harus diberikan. Otak harus mempertimbangkan tinggi rendahnya frekuensi suara, urutan dan kecepatan pengucapan. Lalu sesudah itu otak harus mengatur posisi lidah, gigi, bibir, pita suara, dan lain-lain. Bahkan otak juga harus mengatur raut muka dan postur tubuh yang sesuai untuk menyampaikan maksudnya. Dan semua komputasi itu harus dilakukan hanya dalam beberapa detik. Hal ini membuat seorang ahli kognitif berkata dengan penuh kekaguman: "Mempertimbangkan banyaknya variabel yang harus dipertimbangkan, sungguh mengagumkan bahwa kita dapat berkomunikasi!" Kenyataannya kita dapat berkomunikasi, kadang-kadang bukan hanya dalam satu bahasa, tetapi dalam dua atau lebih bahasa. Sungguh mengagumkan. Sampai sekarang belum ada komputer yang mampu berkomunikasi seperti manusia.

Kenyataan bahwa otak memiliki kemampuan untuk melakukan semua komputasi yang diperlukan untuk dapat berjalan dan untuk berkomunikasi dengan bahasa serta melakukan ketrampilan-ketrampilan yang lain, menunjukkan bahwa otak memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Otak mengandung kira-kira 100 miliar sel otak (neuron). Berdasarkan penelitian Henry Markram, diperlukan satu laptop untuk melakukan komputasi yang dilakukan sebuah neuron. Itu berarti kemampuan komputasi otak seorang anak setara dengan kemampuan 100 miliar laptop. Bayangkan apa yang dapat dilakukan otak dengan kemampuan seperti itu. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa setiap anak terlahir sebagai jenius. Karena itu saya tidak setuju dengan konsep kecerdasan majemuk (multiple inteligences) Howard Gardner yang membatasi kecerdasan pada delapan macam kecerdasan saja. Pengkotak-kotakan kecerdasan seperti itu malahan tidak produktif. Menurut saya anak lahir dengan kecerdasan yang hampir tidak terbatas.

Jadi mengapa banyak anak kurang berhasil di sekolah? Ada beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah karena anak merasa pelajaran-pelajaran yang dipelajari tidak relevan dengan kehidupannya. Perhatikan bahwa saya mengatakan merasa. Ini berarti bahwa persepsi anak sangat menentukan di sini. Mungkin saja beberapa pelajaran akan sangat menentukan keberhasilan seorang anak di masa depan, tetapi kalau seorang anak tidak merasa pelajaran tersebut relevan bagi kehidupannya, dia tidak akan termotivasi untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Belajar memerlukan kerja otak yang sangat keras. Bayangkan kalau seorang anak merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak relevan dengan kehidupannya.

Apakah itu berarti anak tidak usah mempelajari pelajaran-pelajaran yang seolah-olah tidak relevan bagi kehidupannya? Tentu anak perlu mempelajari apa yang akan berguna bagi kehidupannya kelak. Tetapi supaya anak berhasil mempelajarinya, anak harus merasakan relevansi pelajaran itu bagi kehidupannya sekarang. Berbagai penelitian pendidikan menunjukkan bahwa relevansi pelajaran sangat menentukan besarnya motivasi dan pada gilirannya menentukan tingkat keberhasilan anak didik mempelajarinya. Relevansi juga menentukan kemudahan anak memahami pelajaran, karena untuk informasi-informasi yang dianggap relevan anak sudah memiliki informasi-informasi yang dibutuhkan untuk memprosesnya, sehingga mengurangi beban kognitifnya.

Pendidik bisa saja mengatakan kepada anak bahwa pelajaran tertentu akan menentukan keberhasilan anak kelak, sehingga pasti relevan dengan kehidupannya, tetapi hal itu biasanya tidak efektif. Anak harus dapat merasakan sendiri relevansi pelajaran tersebut dalam kehidupannya. Karena itu salah satu tantangan lembaga pendidikan adalah membuat pelajaran-pelajaran yang diajarkan benar-benar relevan dengan kehidupan anak.

Salah satu cara untuk membuat pelajaran menjadi relevan adalah dengan mengintegrasikan pelajaran ke dalam pengalaman hidup sehari-hari anak. Hal ini berarti melakukan kontekstualisasi dengan lingkungan dan budaya masyarakat setempat. Lingkungan dan budaya setempat sangat menentukan jenis ketrampilan yang dikembangkan seorang anak. Michael Merzenich memberikan contoh bagaimana mudahnya seorang anak dari Sao Paolo, Brazil, untuk memainkan bola dengan kepalanya. Atau lihatlah betapa elegan tangan dan jari-jari anak-anak Bali melakukan gerakan tari atau memahat patung. Pendidik dapat memanfaatkan keuntungan ini dengan mengintegrasikan pelajaran dengan ketrampilan-ketrampilan "alami" anak.

Cara yang lain untuk membuat pelajaran relevan adalah dengan memasukkan pembelajaran dalam kegiatan yang paling relevan dengan anak, yaitu kegiatan bermain. Cara yang lain lagi adalah dengan melakukan bermain peran (role play), yang akan memberi anak kesempatan untuk merasakan kira-kira seperti apa pengalaman orang-orang yang terlibat dalam suatu peristiwa sejarah tertentu, atau melakukan suatu pekerjaan atau keahlian tertentu.

Jelas bahwa masing-masing pendidik perlu merancang dan menyusun bahan ajarnya sendiri yang sesuai dengan anak didik yang sedang dihadapinya. Dan jelas pula bahwa keberhasilan pendidikan seperti ini tidak akan dapat diukur melalui ujian nasional yang memukul rata semua anak di seluruh Nusantara yang penuh keragaman budaya dan lingkungan ini. Jadi langkah pertama untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan adalah menghapuskan UAN. Ujian nasional memang diperlukan untuk bench-marking mutu pendidikan secara nasional. Tetapi ujian nasional sebaiknya hanya ditawarkan kepada masing-masing individu yang ingin mengetahui posisinya dibandingkan dengan standar nasional, bukan untuk menentukan kelulusan siswa.

Senin, 14 Desember 2009

Characteristics of Successful Persons

Before discussing further about some characteristics of successful persons, it is appropriate at this point to propose a definition of a successful person. In my opinion, a successful person is someone who can fulfill his/her life purpose, someone who can achieve his/her goals in life, someone who near the end of his/her life can say: "It is finished!"

After reviewing biographies of some successful individuals, I try to summarize some characteristics shared by these individuals. This list of characteristics is admittedly not exhaustive, rather focus only on a few most significant ones.

1. Confidence

Being confident means believing that you can do what you want to do, you can achieve what you want to achieve. Confidence is something that motivate people to do something. Some times it is called self-efficacy, the belief that the individual can do the works needed for their success in a certain job or task. Before starting any career or business or life projects, these individuals have confidence that they can achieve whatever goals they set in their lives.

Contrary to what most people may believe, it may not necessarily self-confidence, that is, confidence in yourself, that bring success. It may be confidence in the Higher Inteligence you may call God. We can cite lots of evidences of people who did not have lots of confidence in themselves, but achieve great things because they believe in God. Mother Theresa is one of such people.

Whatever or whoever you are confident in, you must believe that you can achieve the goals that you set for yourself. There are only few things that you cannot achieve if you are willing to work hard to achieve your goals. There always be some doubts, but just move on. Every time you solve a problem and achieve a goal, however small, you streghten your self-confidence or your confidence in God.

2. Courage

Fear is the biggest obstacle in achieving any goal. Fear keep people from trying anything new. Fear keep people from taking the action. Without action, there will not be any result.

The biographies of successful individual show that these individuals were able to work through or conquer their fears. Some expert said that these individuals are not fearless. Rather they work through or conquer their fears every time they faced them.

You have to fight and conquer your fears. Make the move, and be ready to face challenges. Keep in mind that failure is never final nor fatal.

3. Caring

These individuals did not focus on themselves. They have compassion toward others. In many cases, their actions were motivated by their concern for others.

In addition they pay attention to people. They listen to their ideas, and attend to their needs.

4. Commitment

Successful people commit themselves in something they consider important. Some of them commit themselves to finding new knowledge or new medicines or new way to do something. Some of them commit themselves to helping others or keeping the environment safe. In short they focul their energy in the thing they commit to.

Life has its ups and downs. During the ups, it seems easy to navigate through life. But during the downs, where direction seems uncertain and storm tossing your ship severely, you may be tempted to give up. During those times, you will need commitment, the decision that you will keep following the course you have set out. Commitment will sustain you during the hard times.

5. Competence

The first thing you need to ask youself before embarking on a career or a business or a life project is: What am I good at? What skills do I want to develop?

We need to ask and answer these question, because it will lead to what career you want to take. You will want to start a career which you have competencies in. Competent people will always be able to find solution to problems.

6. Creativity or Inventiveness

Successful individuals seldom stuck on a poblem. They were able to find solutions to the problems they face. In trying to solve the problems they were facing, these inividual very often used unconventional ways. They did not let traditional beliefs and ways put limit to their actions.

Often these individuals tried new things, just to see if they work.

7. Curiosity

Many of these successul individuals develop a passion for learning. They learn continuously.

There is always new ways to do things more effectively. Try out new ideas and see if they work, but be prepared to accept if they fail, and learn from it too.

Senin, 07 Desember 2009

METAFORA

Metafora adalah suatu gambaran yang kita pilih untuk menggambarkan keadaan, sifat atau kegiatan manusia. Misalnya, kita dapat menggambarkan pendidikan sebagai sebuah perlombaan atau bahkan sebuah medan pertempuran. Tetapi kita juga dapat menggambarkan pendidikan sebagai sebuah perjalanan, atau bahkan sebuah tarian.

Setiap metafora secara cepat menstimulasi seperangkat gambaran yang hidup dan sangat berpengaruh, dan menentukan sikap dan tingkah laku kita selanjutnya. Misalnya, kalau kita menggambarkan pendidikan sebagai sebuah perlombaan atau pertempuran, dalam pikiran kita akan segera muncul gambaran orang-orang yang melakukan segala usaha untuk memenangkan perlombaan atau pertempuran itu. Dalam metafora ini, setiap orang adalah saingan atau musuh yang harus dikalahkan. Semua pihakpun kemudian bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan gambaran ini: bersaing dan berusaha saling mengalahkan baik antara sesama peserta didik maupun antara peserta didik dengan pendidik.

Sebaliknya, kalau kita menggambarkan pendidikan sebagai sebuah perjalanan, segera muncul gambaran orang-orang yang melakukan perjalanan untuk mencapai tujuan bersama-sama, mungkin sambil bercakap-cakap dan berinteraksi dalam perjalanan itu. Ada tujuan bersama. Dan sambil menuju tujuan itu setiap orang membagikan cerita hidupnya dan mendengarkan cerita hidup teman seperjalanannya.

Kalau kita menggambarkan pendidikan sebagai sebuah tarian, segera muncul gambaran orang-orang yang bergerak mengikuti irama musik yang mengiringi tarian, dan orang-orang yang bergerak harmonis, yang seorang bergerak ke depan yang lain mundur mengimbangi, dan selanjutnya bertukar gerakan. Setiap orang mengisi atau melengkapi gerakan yang lain, sehingga tercipta keindahan karena harmoni gerakan mereka. Semua pihakpun kemudian bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan gambaran ini: berinteraksi dan bekerja sama dalam proses pembelajaran.

Metafora yang pertama, yaitu pendidikan sebagai sebuah perlombaan atau medan pertempuran, rasanya paling banyak di pakai dalam sistem pendidikan kita. Hal ini ditandai dengan penekanan yang sangat besar pada evaluasi hasil belajar daripada proses belajar itu sendiri. Selain itu, penilaian keberhasilan seorang siswa sering ditetapkan berdasarkan kedudukan nilai ujiannya di antara siswa-siswa yang lain. Akibatnya, lihatlah betapa menjamur pusat-pusat bimbingan belajar atau bimbingan tes, yang menunjukkan bahwa setiap siswa didorong untuk mengalahkan siswa yang lain dengan memakai cara-cara yang lebih cerdik. Lihatlah juga betapa pemerintah, yang dalam hal ini diwakili Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) ngotot mempertahankan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang bermasalah itu.

Metafora ini menempatkan anak didik dalam mode bertahan hidup (survival mode) yang sudah terbukti tidak mendukung pembelajaran yang bermakna.

Metafora yang kedua, yaitu pendidikan sebagai sebuah perjalanan atau tarian, menggambarkan pendidikan sebagai wadah untuk mengasah diri, untuk berkontribusi terhadap kehidupan. Ini mungkin sebuah utopia, tetapi sesuatu yang layak untuk dipertimbangakan, karena metafora ini menempatkan anak didik dalam mode ekplorasi (exploration mode) yang sudah terbukti sangat mendukung pembelajaran dan berkembangnya kreativitas anak.

Dalam metafora ini, sistem pendidikan harus memberikan wadah dan kesempatan untuk anak melakukan ekplorasi, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap dunianya. Ekplorasi yang dilakukan dengan rasa aman, akan memberikan kesempatan anak menemukan tentang dirinya sendiri dan dunianya. Anak akan mengetahui kemampuannya dan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan oleh dunianya. Dengan demikian anak akan diperlengkapi untuk hidup dan menghidupi dunianya.

Sistem pendidikan juga seharusnya mewadahi dan mempersiapkan seorang anak untuk berkontribusi terhadap kemanusiaan. Jadi bahkan semasih dalam masa pendidikan, di sekolahnya, anak diajak untuk melihat potensi dirinya dan potensi teman-teman sebayanya, dan memikirkan apa yang bisa diberikannya untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini akan menyiapkan anak untuk juga memikirkan bagaimana sebagai orang dewasa dia akan bisa berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kemanusiaan, yang jauh lebih besar daripada tujuan pribadinya.

Lebih jauh lagi, pendidik tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya sumber informasi dalam belajar, tetapi sebagai teman seperjalanan yang juga terus berkembang melalui dialog atau interaksi yang membangun dengan anak didiknya. Jadi tidak akan ada lagi masalah tentang pengembangan diri guru seperti yang terjadi sekarang ini, karena setiap proses pembelajaran menyediakan wadah dan kesempatan bagi guru untuk terus mengembangkan diri. Tentu saja guru masih perlu berdialog dan berinteraksi dengan pendidik-pendidik yang lain untuk mendukung pengembangan diri yang berkesinambungan, tetapi bahkan di sinipun dialog atau interaksi tersebut adalah antara teman-teman seperjalanan.

Seorang teman pernah berkomentar tentang metafora pendidikan sebagai perjalanan ini: "Cumi, cuma mimpi". Dia mungkin benar. Tetapi saya memilih untuk berani bermimpi.

Sabtu, 05 Desember 2009

BEBERAPA TEKNIK PEMBELAJARAN PARTISIPATIF

Banyak sekali teknik pembelajaran yang dapat dipakai dalam pembelajaran partisipatif. Masing-masing teknik mempunyai kekuatan dan kelemahan. Selain itu, masing-masing teknik mungkin lebih cocok dilakukan pada tahap tertentu, tetapi beberapa teknik dapat dipakai pada beberapa tahap pembelajaran yang berbeda. Untuk menyederhanakan pembahasan, dan untuk memusatkan perhatian pembaca, di sini hanya dipilih beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh penulis. Sebaiknya Anda mendalami teknik-teknik pembelajaran yang dibahas di sini, dan berusaha untuk menerapkannya dalam pelatihan yang akan Anda adakan, sampai Anda merasa mantap menggunakannya. Setelah itu Anda dapat menambah perbendaharaan teknik pembelajaran yang Anda kuasai dengan memperlajari teknik-teknik yang lain. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) yang sudah terbukti unggul dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik.

Berikut ini diberikan gambaran umum tentang beberapa teknik pembelajaran partisipatif.

1. Teknik Delphi:
Teknik Delphi digunakan untuk menghimpun keputusan-keputusan tertulis yang diajukan oleh sejumlah calon peserta didik atau para pakar yang tempat tinggalnya terpisah-pisah dan mereka tidak dapat berkumpul atau tidak dapat bertemu muka dalam menentukan keputusan-keputusan itu. Keputusan-keputusan tersebut menyangkut tujuan kegiatan belajar, perencanaan kegiatan, pemecahan masalah yang dihadapi bersama, dan lain sebagainya. Karena itu teknik ini sangat cocok dipakai pada tahap perencanaan program.
Teknik Delphi pada dasarnya merupakan proses kegiatan kelompok dengan menggunakan jawaban-jawaban tertulis dari para calon peserta didik atau para pakar terhadap pertanyaan-pertanyaan tertulis yang diajukan kepada mereka. Kegiatan ini bertujuan untuk melibatkan para calon peserta didik atau para pakar dalam membuat keputusan bersama sehingga keputusan-keputusan itu lebih berbobot dan menjadi milik bersama.
Teknik Delphi tidak mensyaratkan peserta didik dan para pakar untuk berkumpul atau bertemu muka. Karena itu teknik ini sangat berguna untuk melibatkan pimpinan lembaga dan masyarakat dalam memberika masukan terhadap rencana pelatihan.
Teknik Delphi pada dasarnya merupakan rangkain pertanyaan yang bertahap dan berkelanjutan. Pertanyaan-pertanyaan pertama memerlukan jawaban-jawaban yang bersifat umum seperti tentang tujuan program kegiatan belajar, masalah dan pemecahannya. Pertanyaan berikutnya disusun dan dikirimkan kembali kepada responden berdasarkan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan pertama. Proses tanya jawab ini berakhir apabila kesepakatan di antara calon peserta didik atau para pakar telah tercapai setelah informasi yang lengkap terkumpul.
Langkah-langkah pelaksanaan teknik ini adalah sebagai berikut:
a. Pelatih atau perencana program menyusun daftar pertanyaan yang berkaitan dengan kemampuan, kebutuhan belajar, tujuan belajar, masalah dan hambatan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan rencana program.
b. Pelatih atau perencana program menghubungi para calon peserta didik atau para pakar yang akan terlibat dalam pelatihan. Untuk itu dapat dipakai berbagai sarana komunikasi yang tersedia, seperti surat, telepon, e-mail dan lain-lain. Pada kesempatan ini pelatih memperkenalkan diri kepada calon peserta, menjelaskan kepada peserta bahwa mereka akan dikirimi daftar pertanyaan. Pelatih juga perlu menjelaskan bahwa informasi yang diberikan oleh peserta akan berguna untuk merancang pelatihan yang akan memenuhi kebutuhan mereka, dan memotivasi mereka untuk melibatkan diri secara aktif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.
c. Pelatih atau perencana program mengirimkan daftar pertanyaan, dan meminta peserta untuk mengisi dan mengembalikan daftar pertanyaan tersebut kepada pelatih.
d. Pelatih atau perencana program menganalisa jawaban-jawaban yang diberikan, dan merumuskan kesimpulan.
e. Berdasarkan hasil analisa di atas, pelatih atau perencana program membuat lagi pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus dan terperinci.
f. Pelatih atau perencana program melakukan langka (c) dan (d).
g. Pelatih atau perencana program merumuskan dan menetapkan keputusan berdasarkan informasi tersebut.

2. Diad
Teknik diad atau berpasangan merupakan teknik belajar partisipatif yang melibatkan dua orang yang berkomunikasi secara lisan maupun tulisan. Teknik diad sangat cocok dilakukan pada tahap pembinaan keakraban, khususnya kalau peserta belum saling mengenal. Teknik ini digunakan agar peserta lebih mengenal satu sama lain dan lebih akrab, sehingga akan mengurangi atau meniadakan hambatan komunikasi di antara para peserta. Hal ini perlu dilakukan agar peserta pelatihan dapat lebih ikut terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran. Tetapi teknik diad bukan hanya dipakai pada tahap perkenalan, melainkan dapat dipakai pada tahap pembelajaran lain yang menuntut pemikiran yang tajam dan mendalam.
Teknik diad dapat dilakukan dengan cara yang cukup sederhana, bahkan oleh orang-orang yang belum berkenalan satu sama lain. Pada tahap perkenalan, teknik ini dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Mula-mula pelatih meminta peserta untuk mencari seorang pasangan dari antara peserta yang lain. Kalau dilakukan pada tahap pembinaan keakraban, sebaiknya peserta mencari pasangan yang belum dikenal.
b. Kemudian pelatih memberikan pokok-pokok yang harus ditanyakan secara bergantian oleh masing-masing pasangan, misalnya: nama, umur, pendidikan, pekerjaan, minat, kegemaran, latar belakang keluarga, alasan mengikuti pelatihan, dll. Untuk membuat pembelajaran lebih menarik, dapat pula ditanyakan pengalaman yang paling lucu atau berkesan. Hasil wawancara disusun secara tertulis berdasarkan urutan pertanyaannya.
c. Apabila pasangan diad sudah selesai saling mewawancarai, masing-masing peserta diminta memperkenalkan pasangannya kepada seluruh kelompok. Cara memperkenalkannya dapat diselingi dengan guyonan, nyanyian, deklamasi, dan sebagainya.
d. Pelatih dapat memberikan komentar singkat setelah setiap pasangan melaporkan hasil wawancaranya. Sebaiknya komentar yang diberikan merupakan humor, tetapi jangan sampai menyakiti hati orang yang dikomentari.

3. Curah Pendapat (Brainsorming):
Curah pendapat adalah teknik pembelajaran yang dipakai untuk menghimpun gagasan dan pendapat untuk menjawab pertanyaan tertentu, dengan cara mengajukan pendapat atau gagasan sebanyak-banyaknya. Curah pendapat dilakukan dalam kelompok yang pesertanya memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini akan memberikan peluang untuk mendapatkan sebanyak mungkin pendapat atau gagasan yang berbeda. Pada kegiatan curah pendapat, yang ditekankan adalah menghasilkan pendapat atau gagasan yang sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat.
Dalam pelaksanaan teknik ini setiap peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya atau gagasannya. Pelatih atau fasilitator atau peserta yang tidak sedang menyampaikan pendapat tidak boleh menyanggah atau memberikan komentar terhadap pendapat atau gagasan yang disampaikan oleh peserta yang sedang berbicara, tetapi menerima saja setiap pendapat atau gagasan yang disampaikan.
Kegiatan curah pendapat dilakukan sebagai berikut:
a. Pelatih menyusun pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran. Sebagai contoh, pelatih dapat menanyakan apa yang diperlukan peserta untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas atau pekerjaannya.
b. Pelatih mengajukan pertanyaan tersebut kepada peserta. Kemudian pelatih memberikan waktu 2-3 menit kepada setiap peserta untuk memikirkan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Perlu pula dijelaskan bahwa setiap peserta hanya perlu menyampaikan pendapatnya, tidak boleh megkritik atau menyela pendapat orang lain.
c. Pelatih dapat berperan sebagai juru tulis yang mencatat pendapat atau gagasan itu di papan tulis atau pada kertas (flipchart) yang disediakan, atau menunjukkan seorang dari peserta untuk melaksanakan tugas tersebut.
d. Sesudah peserta diberi kesempatan untuk memikirkan jawabannya, peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas. Setiap pendapat akan ditulis di papan tulis atau kertas yang sudah disediakan. Pelatih dapat memberi batasan waktu untuk melakukan kegiatan ini, misalnya 5 atau 10 menit.
e. Sesudah waktu habis, pendapat atau gagasan yang terkumpul dapat dikelompokkan berdasarkan kategori-kategori tertentu. Pada akhirnya tim dapat memgevaluasi pendapat-pendapat yang sudah terkumpul.

4. Kelompok Kecil:
Kelompok kecil terdiri dari dua orang atau lebih. Kelompok ini dapat terdiri dari orang-orang yang memiliki minat dan keahlian yang sama (homogen), dapat juga terdiri dari orang-orang yang memiliki minat atau keahlian yang berbeda (heterogen). Pemilihan kelompok homogen atau heterogen ditentukan oleh tugas yang diberikan atau masalah yang dihadapi. Kalau tugas yang diberikan masih dalam tahap penjajagan dan memerlukan pemikiran yang meluas, lebih baik kalau membentuk kelompok-kelompok yang heterogen. Tetapi kalau tugas atau masalah yang dihadapi memerlukan pemikiran yang tajam dan mendalam, mungkin lebih baik kalau membentuk kelompok-kelompok yang homogen.
Setiap kelompok dapat membahas pokok pikiran atau topik bahasan tertentu. Dalam kelompok kecil peserta dapat mengungkapkan pikiran, gagasan atau pendapat tentang pokok pikiran atau topik yang dibahas. Melalui kegiatan ini peserta dapat tukar menukar informasi tentang topik yang dibahas sehingga dapat dicapai kesepakatan di antara peserta. Hasil dari diskusi kelompok kecil ini kemudian dapat dibagikan dalam kelompok besar, yaitu di hadapan seluruh peserta yang lain.
Kegiatan diskusi kelompok kecil dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Sebelum diskusi dilangsungkan, pelatih menghimpun sebanyak-banyaknya informasi yang berhubungan dengan pokok pikiran atau topik yang akan dibahas.
b. Pelatih menyusun uraian suatu topik dan masalah yang ada. Uraian topik ini mungkin berupa pernyataan-pernyataan atau uraian pendek dalam bentuk cerita. Pada akhir uraian, pelatih melontarkan masalah, baik dalam bentuk pertanyaan maupun dalam bentuk tugas yang harus dikerjakan oleh masing-masing kelompok. Perlu pula dicantumkan lamanya waktu yang disediakan untuk membahas topik itu.
c. Sebelum meminta peserta untuk memulai diskusi, pelatih perlu menjelaskan topik yang akan dibahas, tujuan pembahasan dan cara-cara diskusi secara demokratis, serta mendorong semua peserta untuk ikut terlibat secara aktif dalam diskusi.
d. Kemudian pelatih menyarankan agar peserta membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari 3-5 orang anggota. Dapat pula ditunjuk seorang yang menjadi pemimpin kelompok, dan seorang yang menjadi penulis.
e. Pelatih membagikan lembaran yang berisi uraian topik serta tugas atau masalah yang harus dijawab oleh masing-masing kelompok, dan mempersilakan masing-masing kelompok untuk melakukan diskusi. Pelatih perlu mengingatkan masing-masing kelompok bahwa hasil diskusi mereka akan dilaporkan dalam kelompok besar atau di hadapan semua peserta yang lain. Pelatih perlu pula mengingatkan peserta lamanya waktu yang disediakan untuk melakukan diskusi.
f. Ketika diskusi berjalan, pelatih perlu sesekali berjalan menghampiri kelompok-kelompok yang sedang berdiskusi, dan memperhatikan jalannya diskusi. Ada kalanya pelatih perlu memberikan arahan atau mengingatkan kembali topik yang sedang dibahas kalau pembicaraan terlihat menyimpang dari yang diharapkan. Tetapi pelatih perlu membatasi komentar yang diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa semakin sedikit komentar atau arahan yang diberikan pelatih, semakin hidup pembahasan yang dilakukan. Karena itu arahan atau komentar dari pelatih hanya perlu diberikan kalau pembahasan sudah cukup jauh menyimpang, atau kalau ada satu orang peserta yang mendominasi pembicaraan.
g. Kalau waktu sudah habis dan pembahasan belum selesai, pelatih mungkin perlu menawarkan tambahan waktu. Tetapi perlu diingat bahwa tambahan waktu sebaiknya tidak diberikan terlalu banyak, karena akan menggangu jalannya kegiatan pembelajaran. Karena itu pada waktu persiapan pelatih perlu memikirkan dan merencanakan alokasi waktu ini dengan sangat cermat.
h. Sesudah pembahasan dalam kelompok kecil selesai, pelatih meminta setiap kelompok untuk membagikan hasil diskusi mereka dalam kelompok besar. Pelatih dapat memimpin diskusi kelompok besar ini.
i. Pelatih bersama peserta membahas dan menyimpulkan hasil-hasil diskusi kelompok kecil, sehingga menghasilkan kesimpulan bersama.
j. Pelatih perlu pula memberi kesempatan bagi peserta untuk mengevaluasi jalannya diskusi dan hasil, baik dalam kelompok kecil maupun dalam kelompok besar. Hal ini akan memberikan kesempatan peserta untuk merenungkan kembali proses belajarnya dan mengambil pelajaran yang penting dari kegiatan itu.

5. Kunjungan Lapangan dan Praktek Lapangan:
Kunjungan lapangan dan praktek lapangan adalah teknik yang digunakan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan para peserta didik dalam menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang telah mereka peroleh, dengan mempraktekkannya di lapangan atau dalam kehidupan nyata, dalam pekerjaan atau tugas yang sebenarnya. Teknik ini sangat tepat digunakan untuk membina dan meningkatkan kemampuan peserta dengan menerapkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam memecahkan masalah dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Penyusunan rencana kunjungan lapangan dan praktek lapangan didasarkan atas kebutuhan belajar yang dirasakan dan diungkapkan oleh para peserta didik. Kebutuhan belajar itu dapat pula ditambah dengan kebutuhan yang diungkapkan pelatih, lembaga pengutus peserta dan masyarakat. Dengan demikian rencana itu dapat disetujui oleh peserta dan pelatih serta lembaga dan masyarakat. Rencana itu memuat komponen-komponen antara lain tujuan belajar yang ingin dicapai melalui kunjungan lapangan dan praktek lapangan, kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, pembagian tugas, pengaturan penempatan peserta di lapangan, jadwal dan waktu kegiatan, laporan proses dan hasil studi, serta tindak lanjut yang perlu dilakukan.
Tujuan penggunaan teknik ini adalah agar para peserta memperoleh pengalaman langsung dari daerah-daerah yang dikunjungi serta memperoleh pengalaman belajar dari kegiatan lapangan, seperti tentang latihan dan pekerjaan dalam dunia nyata. Di samping itu teknik ini dapat digunakan untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang baru diperoleh peserta dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata.
Dalam kunjungan dan praktek lapangan, peserta melakukan kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan nyata sehari-hari, tetapi peserta masih mendapatkan pengawasan dan bimbingan pelatih. Karena itu peserta dapat memperoleh keuntungan dari pengalaman nyata sekaligus rasa aman karena tersedianya pengawasan dan bimbingan pelatih, yang memungkinkannya berkonsultasi bila memghadapi masalah yang terlalu rumit untuk dipecahkannya sendiri.
Kegiatan kunjungan lapangan dan praktek lapangan dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Pelatih bersama peserta didik mengidentifikasi kebutuhan belajar dari peserta didik yang dapat dijadikan dasar untuk menyusun rencana kunjungan lapangan dan praktek lapangan.
b. Atas dasar kebutuhan belajar itu pelatih bersama peserta menyusun rencana kunjungan lapangan dan praktek lapangan. Rencana ini mencakup tujuan kunjungan dan praktek lapangan, lokasi, keahlian atau ketrampilan yang akan diterapkan, rangkaian kegiatan yang akan dilakukan, orang-orang yang terlibat, fasilitas dan alat-alat, dana, jadwal dan waktu kegiatan, dan lain sebagainya.
c. Pelatih menugaskan kepada peserta untuk menjajagi obyek yang akan dikunjungi, guna menyampaikan informasi tentang kunjungan dan untuk mengindentifikasi informasi yang berhubungan dengan kunjungan untuk dijadikan masukan guna memodifikasi dan menyempurnakan rencana pelaksanaan kunjungan lapangan.
d. Pelatih membantu peserta dalam melaksanakan kunjungan dan praktek lapangan, dengan kegiatan antara lain:
Mengarahkan dan memotivasi peserta untuk melakukan tugas dan kegiatan sebagaimana tercantum dalam rencana
Melakukan monitoring, supervisi dan evaluasi pelaksanaan kunjungan lapangan
e. Selaesai kunjungan lapangan, peserta menyusun laporan pelaksanaan tugas kunjungan lapangan.
f. Peserta mendiskusikan proses, hasil dan pengaruh kunjungan dan praktek lapangan.
g. Pelatih bersama peserta melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil pelaksanaan kunjungan dan praktek lapangan.:

6. Evaluasi Diri (Self Evaluation):
Teknik ini secara khusus dipakai untuk mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran. Penggunaan teknik ini menuntut partisipasi yang sungguh-sungguh dari peserta didik. Evaluasi diri dilakukan dengan menjawab pernyataan-pernyataan yang sudah disediakan pada lembaran khusus. Evaluasi ini dapat dilakukan untuk menghimpun pendapat peserta didik antara lain terhadap proses kegiatan pembelajaran, bahan belajar, performa pendidik, dan pengaruh kegiatan belajar yang dirasakan oleh peserta didik. Evaluasi ini juga dapat digunakan untuk mengetahui pendapat peserta didik tentang perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang dirasakan setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dibandingkan dengan sebelum mengikuti kegiatan pembelajaran.
Kegiatan evaluasi diri dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Pelatih menyusun lembaran tertulis yang berisi daftar pernyataan pendapat peserta.
b. Pelatih menyediakan lembaran tersebut sesuai dengan jumlah peserta.
c. Pelatih menyebarkan lembaran itu pada waktu yang bersamaan kepada para peserta didik untuk selanjutnya diisi oleh para peserta didik.
d. Setelah jawaban-jawaban itu dihimpun dan diolah, pelatih bersama peserta didik mendiskusikan hasil evaluasi. Hasil diskusi dijadikan bahan untuk perbaikan atau pengembangan program kegiatan pembelajaran.
e. Selesai melaksanakan langkah-langkah di atas, pelatih bersama peserta didik melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil penggunaan teknik ini.

Kamis, 03 Desember 2009

Menanyakan Pertanyaan yang Tepat

Dalam pembelajaran tradisional, peranan pengajar adalah menyampaikan informasi dan berharap bahwa pembelajar akan menyerap informasi tersebut. Dalam pembelajaran transformasional, tidak ada pengajar. Setiap orang adalah pembelajar. Setiap orang yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran akan saling belajar dari satu sama lain. Tetapi supaya kegiatan belajar berlangsung dengan baik dibutuhan seorang fasilitator kegiatan belajar. Fasilitator kegiatan belajar, yang biasa disebut fasilitator atau mentor atau coach, berperan merencanakan kegiatan belajar, menciptakan suasana yang kondusif untuk pembelajaran, memfasilitasi peserta melakukan interaksi dengan peserta yang lain dan dengan bahan pelajaran, serta mendorong peserta untuk melakukan penilaian atas pembelajarannya sendiri.

Tentu saja seorang fasilitator pembelajaran harus seorang yang menguasai pengetahuan atau ketrampilan yang ingin dibagikan kepada para peserta. Seorang fasilitator yang belum menguasai pengetahuan atau ketrampilan dengan baik tidak akan dapat berbagi dengan nyaman.

Dalam setiap tahap pembelajaran, kunci keberhasilan seorang fasilitator pembelajaran adalah menanyakan pertanyaan yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan adalah pertanyaan-pertanyaan terbuka yang membuka kemungkinan-kemungkinan, dan mengundang diskusi dan interaksi, baik di antara fasilitator pembelajaran dengan peserta, antara peserta dengan peserta yang lain, maupun antara peserta dengan bahan pelajaran atau dengan dunia.

Ada pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan pemimpin pembelajaran kepada dirinya sendiri, dan ada pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada peserta kegiatan pembelajaran. Sebagai contoh, pada tahap perencanaan pemimpin pembelajaran harus bertanya kepada dirinya sendiri pengetahuan, sikap dan ketrampilan apa yang diperlukan oleh calon peserta agar berhasil dalam kehidupannya atau tugasnya; apa yang perlu dilakukan agar peserta memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan ini.

Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, pemimpin pembelajaran perlu menanyakan apa yang akan membuat peserta merasa aman untuk melibatkan diri dengan aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; apa yang akan mendorong peserta untuk berkontribusi dalam proses pembelajaran; apa yang akan mendorong peserta merenungkan pengalaman belajarnya dan merumuskan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperolehnya.

Pada tahap evaluasi, pemimpin pembelajaran perlu menanyakan apa yang akan mendorong peserta untuk menilai dengan jujur apa yang sudah dicapainya melalui kegiatan pembelajaran yang sudah dilakukan; apa yang akan mendorong peserta untuk menerapkan apa yang sudah dipelajarinya dalam pekerjaan atau kehidupannya; apa yang akan mendorong peserta untuk selalu mengembangkan apa yang sudah dipelajarinya itu.

Selain pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada dirinya sendiri, pemimpin kegiatan belajar juga harus menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tepat kepada peserta pembelajaran.

Pada tahap perencanaan, pemimpin pembelajaran perlu menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang akan mendorong peserta menilai kemampuannya saat ini dan memikirkan apa yang masih dibutuhkannya untuk berhasil dalam tugasnya. Berikut adalah contoh-contoh pertanyaan yang dapat ditanyakan: Apa yang sudah Anda pelajari tentang tugas yang akan Anda lakukan dalam pekerjaan Anda? Apa yang pernah Anda lakukan berkaitan dengan tugas itu? Apakah ada komponen-komponen tugas yang Anda rasa masih belum menguasai sepenuhnya? Apa yang masih ingin Anda ketahui atau pelajari berkaitan dengan tugas itu?

Pada tahap pelaksanaan, pemimpin pembelajaran perlu menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang akan mendorong peserta untuk merenungkan pengalamannya sebelumnya, mencoba mendiskusikan berbagai kemungkinan untuk meningkatkan kemampuannya memecahkan masalah, dan mendorong peserta memikirkan cara-cara untuk menerapkan apa yang dipelajarinya. Pertanyaan-pertanyaan berikut mungkin dapat menolong pada tahap ini: Pengalaman apa yang pernah Anda alami berkaitan dengan situasi ini? Diskusikanlah bagaimana kelompok Anda akan menyelesaikan malasah ini? Konsep atau pengetahuan apa yang Anda pelajari dari proses ini? Bagaimana Anda akan menerapkannya dalam pekerjaan Anda?

Pada tahap evaluasi, pemimpin pembelajaran perlu menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa yang Anda dapatkan dari pembelajaran ini yang paling berguna bagi pekerjaan Anda? Dibandingkan dengan sebelumnya, bagaimanakah tingkat pengetahuan dan ketrampilan Anda sesudah mengikuti pembelajaran ini? Bagaimana Anda akan memakai apa yang Anda pelajari dalam pelatihan ini dalam pekerjaan Anda?

Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya merupakan sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang dapat menolong pemimpin dan peserta pembelajaran menggerakkan proses pembelajaran. Sebagaimana biasa, perlu kreativitas untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang lebih sesuai dengan keadaan dan kebutuhan peserta pembelajaran tertentu.

Selasa, 01 Desember 2009

Perlunya Siswa Aktif Dalam Belajar

Kalau seorang anak berbuat kesalahan, apakah yang akan dilakukan orang tua, selain memukul, untuk menghukum anak tersebut? Menyuruhnya duduk diam di pojok kamar selama beberapa lama.

Jadi duduk diam lebih dari lima menit merupakan hukuman yang berat bagi seorang anak. Kalau demikianlah kenyataannya, mengapa para pendidik di negeri ini justru melakukan hal itu kepada anak-anak didiknya? Anak-anak dipaksa duduk diam mendengarkan guru/dosen berbicara selama berjam-jam setiap hari. Apa yang dapat diharapkan dari anak yang merasa terhukum ketika melakukan pembelajaran? Herankah kita bahwa anak-anak menjadi orang yang suka berkelahi, suka memberontak dan tidak punya inisiatif?

Berdasarkan penelitan neuroscience, otak memerlukan oksigen yang cukup untuk dapat berfungsi dengan baik. Jumlah oksigen yang dibawa ke otak akan meningkat kalau jumlah darah yang mengalir ke otak bertambah. Aliran darah ke otak lebih tinggi ketika tubuh bergerak aktif, daripada ketika duduk diam. Itulah sebabnya orang yang duduk diam cukup lama cenderung untuk mengantuk dan tertidur. Tetapi siapakah di antara kita yang pernah tertidur ketika bermain badminton, misalnya? Karena itu John Medina secara ekstrim mengajukan usul agar semua pelajaran dilakukan sambil berolah raga. Penulis tidak sependapat sepenuhnya dengan usulan ini. Tetapi penulis berpendapat bahwa sedapat mungkin dalam setiap pelajaran anak diajak untuk bergerak atau beraktivitas.

Selain membantu meningkatkan aliran darah dan oksigen ke otak, gerakan atau aktivitas juga membantu anak mengingat pelajaran, karena kalau anak melakukan gerakan atau kegiatan ketika mempelajari suatu informasi, informasi tersebut dikodekan ke dalam memori jangka panjang bersama konteks kegiatannya. Jadi informasi tersebut dikodekan dalam dua moda memori: episodic memory (memori tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang) dan semantic memory (memori tentang pengetahuan umum). Misalnya, kalau anak belajar tentang satuan berat dengan menimbang tepung, gula dan mentega untuk membuat adonan kue bolu, misalnya, pengetahuan itu akan dikodekan dalam dua moda memori. Sedangkan kalau anak hanya mendengarkan guru memberitahu informasi, informasi tersebut disimpan hanya dalam bentuk semantic memory. Secara sederhana kita dapat menyimpulkan bahwa informasi yang dikodekan dalam dua moda memori tentu lebih mudah diakses dan lebih sulit untuk dilupakan daripada informasi yang dikodekan dalam satu moda memori.

Aktivitas atau kegiatan juga memberi anak perasaan bahwa dia memegang kendali atas pembelajarannya. Ketika aktif melakukan berbagai kegiatan dalam pembelajarannya, anak merasa bukan sebagai penerima informasi yang pasif, tetapi sebagai peserta yang aktif mengendalikan proses pembelajarannya. Banyak penelitan tentang motivasi dalam pembelajaran menunjukkan bahwa persepsi seorang anak atas kendali pembelajarannya mempengaruhi motivasinya, dan pada gilirannya mempengaruhi prestasinya. Anak yang merasa bahwa dia memegang kendali atas pembelajarannya akan memiliki motivasi yang tinggi dan pada gilirannya akan memiliki prestasi yang tinggi.

Jadi tiga hal di atas merupakan alasan yang cukup kuat bagi pendidik untuk melakukan pembelajaran melalui kegiatan atau aktivitas. Banyak pilihan aktivitas yang dapat dipakai dalam proses pembelajaran: melakukan permainan seperti bola basket ketika belajar Matematika atau Fisika; melakukan kegiatan menari atau senam sambil belajar Bahasa Inggris; melakukan berbagai permainan ketika belajar Management. Siswa juga dapat melakukan praktek di laboratorium, atau di bengkel atau di dapur. Banyak sekali pilihannya. Dan semua kegiatan ini tidak harus membutuhkan biaya. Yang diperlukan adalah kreativitas untuk mengaitkan setiap konsep atau informasi dengan aktivitas yang mendukung pemerolehan konsep atau informasi tersebut. Memang hal ini tentu menuntut kerja yang lebih keras di pihak guru. Tetapi hasil yang dicapai akan memberikan kepuasan yang tidak ternilai bagi guru.

Kamis, 26 November 2009

Kisah Sebuah Sekolah

Setiap anak terlahir dengan potensi yang luar biasa. Otak setiap anak siap untuk belajar dan mencipta. Tidak mengherankan kalau kita sering bertanya dalam hati apakah cerita yang diceritakan dengan begitu hidup oleh seorang anak berumur empat tahun itu kejadian sebenarnya atau hanya rekaannya. Mudah sekali bagi anak usia itu untuk menciptakan cerita seperti itu, karena imajinasi anak begitu hidup.

Tetapi di Indonesia, setelah anak lulus dari sekolah menengah, sebagian besar dari mereka tidak berguna untuk apapun kecuali untuk pekerjaan kasar, yang nota bene tidak mau mereka kerjakan, karena mereka tidak punya inisiatif dan daya cipta. Bagaimana otak yang luar biasa itu dapat diubah begitu drastis oleh kira-kira dua belas tahun masa sekolah? Sistem pendidikan kitalah yang membuatnya demikian. Sistem pendidikan kita mematikan daya cipta dan kemampuan otak anak untuk belajar secara mandiri. Keluaran sistem pendidikan kita adalah orang-orang muda yang mungkin menghafalkan banyak informasi, tetapi tidak tahu bagaimana menemukan dan menggunakan informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tertentu atau untuk meningkatkan kemampuannya.

Sudah sering dibahas bahwa duduk diam mendengarkan seorang guru berceramah selama 90 menit bukan merupakan cara yang efektif bagi anak untuk belajar sesuatu yang berguna bagi kehidupannya. Tetapi itulah yang dilakukan para pendidik kita. Anak-anak dibuat bosan karena dipaksa duduk diam selama berjam-jam. Lebih dari 60% waktu itu biasanya dipakai untuk melamun, atau mengganggu teman yang lain, atau menggambar kartun guru yang sedang mengajar, atau membaca buku porno yang diselipkan di tengah lembaran buku...

Untunglah sudah ada beberapa sekolah yang menyadari kesalahan ini, dan melakukan sesuatu yang berbeda. Untuk tidak dianggap sebagai iklan, saya tidak akan menyebutkan nama sekolah menengah yang akan dijadikan contoh berikut ini. Yang jelas ini bukan salah satu sekolah negeri.

Di sekolah ini tingkat kehadiran sangat tinggi. Hampir tidak ada anak yang absen, kecuali karena sakit atau urusan yang betul-betul penting. Anak-anak selalu datang lebih cepat dan pulang lebih lambat dari jadwal. Dan mereka sangat menikmati lingkungan sekolah yang ditata dengan sangat baik, yang dikerjakan bersama oleh guru-guru dan murid-murid.

Walaupun masih memakai kurikulum nasional yang sentralistik dan kurang relevan itu, sekolah ini memodifikasinya begitu rupa sehingga sangat mengurangi beban kognitif yang akan diterima anak. Salah satu caranya adalah dengan melakukan koordinasi di antara sesama guru, sehingga setiap mata pelajaran dikaitkan dan dibangun di atas dan dijadikan landasan untuk mata pelajaran lainnya. Jadi, misalnya, setelah selesai pelajaran IPS, guru Bahasa Indonesia yang mengajar pada jam selanjutnya dapat memakai bahan yang dipelajari pada jam pelajaran IPS untuk mengajarkan Bahasa Indonesia, sehingga ada kesinambungan bahan. Hal ini terbukti mengurangi beban kognitif siswa. Tentu saja ini menuntut para guru untuk mengembangkan bahan ajarnya sendiri, dengan berkoordinasi dengan koleganya, dan tidak hanya bergantung pada buku terbitan penerbit komersial.

Pada awal semester, biasanya setiap kelas menyusun kontrak belajar yang ditetapkan bersama oleh masing-masing guru dan murid-murid. Kontrak belajar ini menetapkan apa yang ingin dicapai selama satu semester, bagaimana mencapainya, bagaimana mengukur pencapaiannya, dan apa sanksi bagi siswa yang tidak menaati kontrak belajar.

Selain menetapkan kontrak belajar bersama murid-murid, guru juga mengembangkan rencana pelajaran (lesson plan), yang menjadi pembimbing kegiatan di kelas. Rencana pelajaran ini biasanya berisi kegiatan apa yang akan dilakukan untuk memfasilitasi murid-murid mempelajari konsep, teori atau informasi yang mereka perlukan. Jadi pelajaran disampaikan melalui aktivitas murid-murid, bukan melalui ceramah guru.

Dalam setiap jam pelajaran, guru memakai kegiatan yang sangat beragam untuk menyampaikan pelajarannya. Misalnya, di kelas tertentu anak-anak berpakaian militer dan melakonkan perang ketika mencoba memahami sejarah perang kemerdekaan. Di kelas yang lain anak-anak menakar tepung dan berbagai bahan adonan untuk membuat kue ketika belajar tentang satuan berat. Di kelas yang lain anak-anak bermain bola basket ketika belajar teori fisika. Di kelas yang lain lagi, anak-anak melakukan berbagai permainan ketika belajar Agama. Belum lagi berbagai kegiatan di laboratorium, di gymnasium, di ruang musik, di dapur, di lapangan olah raga, dan lain-lain.

Penilaian kelulusan mata pelajaran biasanya didasarkan pada tulisan-tulisan (paper) siswa, juga pada keterlibatan dan performa siswa dalam setiap kegiatan belajar. Ketika berkesempatan membaca tulisan-tulisan mereka, penulis mendapati bahwa tulisan-tulisan itu bahkan lebih baik daripada tulisan kebanyakan mahasiswa tingkat sarjana. Ada juga ujian tertulis, tetapi porsinya sangat sedikit, dan biasanya berupa esai.

Yang paling mengesankan, setiap guru berusaha agar setiap siswa benar-benar menguasai apa yang dipelajarinya. Mereka siap membantu agar setiap siswa berhasil melakukannya.

Tidak heran kalau tingkat kenakalan di sekolah ini sangat rendah. Anak-anak yang sibuk dan asyik dengan kegiatan belajar yang begitu menyenangkan tentu tidak punya waktu untuk kegiatan yang merusak.

Semoga semakin banyak sekolah yang mengikuti teladan sekolah ini.

Jumat, 20 November 2009

Mengatasi Krisis Pendidikan di Indonesia

Ironis. Itulah pikiran yang muncul ketika mengamati dunia pendidikan di negeri ini. Ketika pendidikan di negara-negara yang lain dalam praktek belajar mengajarnya telah menerapkan hasil-hasil penelitian tentang bagaimana siswa belajar, sehingga siswa larut dalam kegiatan belajar (engaged in the learning activities), pendidikan di Indonesia malah menghasilkan generasi yang suka tawuran dan tidak siap untuk menghadapi tantangan kehidupan. Bukan hanya pada tingkat sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas, bahkan pada tingkat sekolah dasarpun sering terjadi perkelahian siswa.

Berkenaan dengan perkelahian dan tawuran pelajar ini, beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan ada hubungan yang terbalik antara keterlibatan siswa dalam berbagai tindakan anti-sosial dan kejahatan dengan keterlibatan (engagement) siswa dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Semakin tinggi keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar, semakin rendah kemungkinannya terlibat dalam tindakan anti-sosial dan kejahatan. Dan sebaliknya.



Jalan di Tempat

Beberapa teman, ketika mengamati kondisi pendidikan di Indonesia, berkata bahwa pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran. Hal itu tentu saja tidak benar. Pendidikan di Indonesia masih sama seperti tiga puluh tahun yang lalu. Itulah masalahnya. Ketika pendidikan di negara-negara yang lain maju dengan pesat, pendidikan di Indonesia masih berjalan di tempat.

Masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia terjadi karena sistem pendidikan masih menerapkan konsep dan praktek-praktek pendidikan yang sudah ketinggalan zaman, yang dikembangkan lebih dari satu abad yang lalu.



Beberapa Masalah Penting

Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis pendidikan di Indonesia:

Pertama, kurikulum yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat. Di sekolah-sekolah di Indonesia siswa diwajibkan untuk mempelajari banyak sekali mata pelajaran yang kadang-kadang tidak ada kaitannya satu sama lain, dan sama sekali tidak relevan dengan kehidupan siswa. Misalnya, siswa kelas dua SD di Bandung dipaksa mempelajari sebelas mata pelajaran setiap semester. Bandingkan dengan sekolah-sekolah Internasional di mana siswa hanya mempelajari lima sampai enam mata pelajaran. Secara sederhana saja langsung terlihat bahwa siswa di sekolah-sekolah Internasional memiliki waktu dua kali lebih banyak daripada siswa di sekolah-sekolah Indonesia. Penelitian terbaru dalam bidang psikologi kognitif dan neuroscience menunjukkan bahwa bukan banyaknya informasi yang akan menentukan apakah seseorang akan menjadi ahli (expert) dalam suatu bidang, melainkan bagaimana berbagai informasi yang ada disusun dalam suatu skema atau model mental yang mudah diakses ketika diperlukan. Dalam proses penyusunan informasi itu ke dalam suatu skema atau model mental, orang yang ahli biasanya menyingkirkan informasi-informasi yang tidak relevan, dan menyusun ulang informasi-informasi yang relevan saja. Hal ini akan membuat proses mengakses informasi itu menjadi efisien. Hal itulah yang membuat seorang ahli terlihat begitu lancar dan elegan dalam mengerjakan apa yang menjadi keahliannya, seolah-olah dia tidak perlu berpikir lagi dalam melakukannya. Sebaliknya, banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari di sekolah tidak memberi kesempata bagi siswa untuk menyusun skema yang dapat diakses dengan efisien.

Kedua, praktek-praktek pendidikan, seperti perencanaan, pengajaran, dan evaluasi hasil belajar yang tidak sesuai. Kebanyakan guru tidak membuat rencana pengajaran (lesson plan) yang memadai. Beberapa guru yang pernah penulis wawancarai mengakui bahwa mereka hanya membaca kembali bahan yang akan diajarkan keesokan harinya, tanpa mengkaji ulang apakah bahan yang akan diajarkan masih valid dan bagaimana mengantisipasi situasi belajar yang mungkin tidak sesuai dengan rencana. Misalnya, apa yang harus dilakukan oleh guru kalau siswa terlihat kurang termotivasi.

Dari pengamatan yang penulis lakukan di beberapa sekolah juga terlihat bahwa guru sangat bergantung pada metode ceramah ketika menyampaikan pelajaran. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh para guru adalah padatnya pelajaran dan kurangnya waktu untuk menyelesaikan bahan yang sudah ditetapkan oleh DEPDIKNAS. Tetapi dari pengamatan penulis, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan para guru. Pendapat ini sejalan dengan Darling-Hammond (dalam Woolfolk, 2004) yang meneliti bagaimana kualifikasi guru berhubungan dengan prestasi siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas guru, yang dinilai dari sertifikat mengajar dan gelar kesarjanaan dalam bidang yang diajarnya, memiliki hubungan yang nyata dengan prestasi siswa.

Masalah yang lain adalah penilaian atau evaluasi hasil belajar mengajar. Ada pemikiran bahwa ujian atau evaluasi hasil belajar hanya merupakan sarana untuk menilai kemampuan siswa. Padahal evaluasi hasil belajar seharusnya merupakan sarana untuk menilai keberhasilan guru dan sistem pendidikan dalam membantu anak didik meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Di samping itu, sampai sekarang penilaian hasil belajar siswa kebanyakan dilakukan melalui ujian tertulis, yang biasa disebut paper and pencil test. Hal ini masih diperburuk oleh pelaksanaan ujian akhir nasional, yang memukul rata semua siswa di seluruh wilayah tanah air ini, seolah-olah siswa di Papua tidak ada bedanya dengan siswa di Jawa atau daerah lainnya. Beberapa ahli pendidikan sebenarnya sudah mengusulkan untuk melakukan penilaian berdasarkan portfolio siswa, tetapi dalam prakteknya belum ada sekolah yang melakukannya. Hal ini mungkin disebabkan sulitnya melakukan penilaian berdasarkan portfolio ini, karena setiap individu siswa harus dinilai berdasarkan perkembangannya sendiri. Kebanyakan guru kelihatannya belum mampu untuk melaksanakan cara ini.

Ketiga, pengembangan diri guru yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah pengembangan diri guru merupakan masalah yang klasik. Kebanyakan sekolah tidak memiliki rencana definitif untuk membantu guru mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya mengajar. Karena itu perkembangan kemampuan guru sangat tergantung pada usaha dan kreativitas guru sendiri sebagai individu.



Beberapa Hasil Penelitian:

Banyak penelitian menunjukkan bahwa cara belajar yang paling berhasil adalah yang melibatkan siswa aktif dalam pembelajarannya. Tetapi apa yang terjadi di ruang-ruang kelas sekolah di Indonesia. Anak-anak duduk diam mendengarkan guru. Pembelajaran berjalan membosankan. Memang beberapa tahun yang lalu ada usaha untu mengembangan cara belajar yang melibatkan siswa secara aktif, yang dikenal dengan nama "Cara Belajar Siswa Aktif" (CBSA). Tetapi karena kurangnya dukungan terhadap pelaksanaan cara belajar ini, akhirnya guru sendiri kebingungan untuk menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajarnya, sampai ada beberapa guru yang memplesetkan singkatan CBSA menjadi Catat Bahan Sampai Abis. Pada akhirnya program ini terhenti begitu saja.

Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran yang berhasil adalah di mana siswa melakukan konstruksi terhadap pengetahuannya. Ini berarti siswa diberi kesempatan untuk memasuki pengalaman belajar yang menantang pemikirannya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan pengetahuan yang didapat dari pengalaman itu. Sesuai dengan itu proses belajar yang paling berhasil adalah di mana siswa berusaha memecahkan masalah, khususnya yang berkaitan dengan kehidupannya. Hal ini akan membuat pembelajaran itu relevan dengan kehidupan siswa.

Untuk memecahkan masalah, sering kali siswa harus bekerja sama dengan siswa yang lain. Tetapi di sekolah-sekolah di Indonesia, siswa yang bekerja sama dianggap curang. Tentu saja siswa yang bekerja sama dianggap curang karena sistem pengujian yang dangkal dan hanya menguji ingatan siswa, tidak memberi kesempatan siswa untuk mengungkapkan pemahaman yang mendalam.

Penelitian-penelitian dalam psikologi pendidikan dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa proses belajar akan berlangsung paling baik kalau anak belajar dalam suasana yang menyenangkan. Beberapa penelitian dalam bidang neuroscinece bahkan menunjukkan pembelajaran paling berhasil ketika otak dalam keadaan rileks. Hal ini menjelaskan mengapa apa yang dipelajari di Taman Kanak-kanak (TK) biasanya terus diingat oleh anak sampai dewasa. Pelajaran itu melekat dalam pikiran anak karena dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, yaitu di mana anak belajar sambil bermain. Atau lebih tepat lagi, anak bermain sambil belajar. Proses belajar menjadi bagian dari kegiatan bermain itu.

Bukan hanya untuk anak yang masih kecil, untuk anak yang lebih tuapun prinsip ini berlaku. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa kegiatan belajar yang paling berhasil terjadi dalam suasana bermain, baik untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa. Hal ini dinyatakan dengan ungkapan “No laughing, no learning.” Kalau tidak ada tawa, tidak belajar.

Bandingkan dengan suasana belajar di kebanyakan kelas di sekolah-sekolah, di mana bercanda di dalam kelas dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap otoritas guru. Bagaimana otak yang begitu tegang itu dapat belajar dengan baik? Tentu saja tidak dapat. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa biasanya siswa lupa apa yang dipelajarinya selama satu semester segera setelah dia selesai ujian akhir semester itu.



Penutup:

Kalau mau mengejar ketinggalan yang sangat jauh ini, dunia pendidikan di Indonesia harus mengubah sistem pendidikan yang ada. Dunia pendidikan harus memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang ada.

Ada tiga prinsip umum yang harus dipakai dalam sistem pendidikan. Pertama, kurikulum dan evaluasi harus disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, bahkan harus sesuai dengan masing-masing individu pembelajar kalau mungkin. Kedua, pengajaran harus memakai pendekatan siswa aktif di mana pembelajar diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman dan interaksinya dengan bahan, dengan pengajar dan dengan sesama siswa. Ketiga, pengajar harus membangun suasana belajar yang menyenangkan di mana siswa dapat bermain sambil belajar.

Kamis, 19 November 2009

Dasar-dasar Pembelajaran Partisipatif


Pembelajaran partispatif adalah kegiatan pembelajaran di mana semua pihak, termasuk pendidik dan peserta didik, terlibat secara akhtif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Keikutsertaan peserta didik itu diwujudkan dalam tiga tahapan kegiatan pembelajaran yaitu tahap perencanaan program (program planning), pelaksanaan (program implementtion), dan penilaian (program evaluation) kegiatan pembelajaran.

Pada tahap perencanaan keterlibatan peserta didik diwujudkan dalam kegiatan mengidentifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber atau potensi yang tersedia, permasalahan dan prioritas masalah, dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran. Kebutuhan belajar dinyatakan oleh peserta didik sebagai keinginan yang dirasakan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan/atau nilai yang diperlukan dalam kehidupan atau tanggung jawab pekerjaannya. Kebutuhan-kebutuhan belajar tersebut kemudian ditata secara cermat dan berurutan. Selanjutnya ditentukan urutan prioritas kebutuhan belajaran atas dasar kepentingan dan kesegeraannya untuk dipenuhi melalui kegiatan belajar.

Selanjutnya peserta didik dilibatkan dalam merumuskan tujuan belajar. Tujuan belajar merupakan pernyataan mengenai apa yang akan dicapai atau diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar. Tujuan belajar berkaitan erat dengan kebutuhan belajar. Perolehan belajar itu dapat berupa pengetahuan, keterampilan, dan/atau nilai-nilai yang menjadi bagian dari kehidupan peserta didik. Untuk mencapai tujuan belajar itu akan ditetapkan program pembelajaran. Program pembelajaranegiatan ini mencakup apa yang akan dipelajari, metode dan teknik pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, alat-alat dan fasilitas, waktu yang digunakan, dan lain sebagainya. Singkatnya, keikutsertaan peserta didik dalam tahap perencanaan kegiatan pembelajaran meliputi identifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber yang tersedia dan kemungkinan hambatan yang akan ditemui dalam kegiatan pembelajaran, penyusunan prioritas kebutuhan, perumusan tujuan belajar dan penetapan program kegiatan pembelajaran.

Pada tahap pelaksanaan program pembelajaran peserta didik dilibatkan dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Iklim yang kondusif ini mencakup pertama, kedisiplinan peserta didik yang ditandai dengan keteraturan dalam kehadiran pada setiap kegiatan pembelajaran. Kedua, pembinaan hubungan antar peserta didik dan antara peserta didik dengan pendidik sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, saling membantu, dan saling belajar. Ketiga, interaksi kegiatan pembelajaran antara peserta didik dan pendidik dilakukan melalui hubungan horisontal. Hubungan ini menggambarkan terjalinnya komunikasi yang sejajar baik antara peserta didik dengan pendidik maupun antar peserta didik. Keempat, tekanan kegiatan pembelajaran adalah pada peranan peserta didik yang lebih aktif melakukan kegiatan pembelajaran, bukan pada pendidik yang lebih mengutamakan kegiatan mengajar. Pendekatan kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik, tidak terpusat pada pendidik. Penyusunan bahan belajar dan penentuan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dilakukan oleh para peserta didik bersama pendidik atau oleh para peserta didik dengan bimbingan pendidik. Peranan pendidik ialah membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa situasi kegiatan pembelajaran yang dapat mengembangkan interaksi yang efektif dapat ditumbuhkan apabila peserta didik ikut serta secara aktif dalam pelaksanaan program kegiatan pembelajaran.

Pada tahap evaluasi program pembelajaran peserta didik dilibatkan dalam menetukan apa yang akan dievaluasi, bagaimana evalusi dilakukan, dan kapan saja evaluasi akan dilakukan. Selain itu peserta didik juga dilibatkan dalam pelaksanaan evaluasi. Evaluasi dapat digunakan baik untuk penilaian pelaksanaan pembelajaran maupun untuk penilaian pengelolaan program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan pembelajaran mencakup penilaian terhadap proses, hasil, dan dampak pembelajaran. Penilaian terhadap proses pembelajaran untuk mengetahui sejauhmana kesesuaian antara poses yang telah direncanakan denagan pelaksanaannya. Penilaian terhadap hasil pembelajaran untuk mengetahui mengenai perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, nilai, aspirasi) yang dialami peserta didik atau lulusan setelah mengikuti program pembelajaran. Penilaian terhadap dampak pembelajaran adalah untuk mengetahui perubahan kehidupan lulusan setelah menerapkan hasil belajarnya seperti dalam perolehan atau peningkatan pendapatan, pembelajaran orang lain, dan keikutsertaannya dalam pembangunan masyarakat. Evaluasi terhadap pengelolaan program pembelajaran dilakukan untuk menilai perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan program pembelajaran.

B. Prinsip Dasar Pembelajaran Partisipatif

Di bawah ini akan dibicarakan beberapa prinsip dasar pembelajaran partisipatif.

1. Berpusat pada Peserta (Learner Centered)

Proses kegiatan pembelajaran partisipatif yang berpusat pada peserta didik (learner centered). Hal ini berarti bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan itu didasarkan atas dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Latar belakang kehidupan tersebut perlu menjadi perhatian utama dan dijadikan dasar dalam penyusunan rencana kegiatan pembelajaran partisipatif. Rencana kegiatan pembelajaran mencakup antara lain langkah-langkah, materi, fasilitas, alat bantu, dan evaluasi proses, keluaran, dan pengaruh pembelajaran. Latar belakang kehidupan meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, tugas atau pekerjaan yang sedang ditekuni, dan lain sebagainya. Dalam menyusun proses kegiatan pembelajaran ini peserta didik memegang peranan utama sehingga mereka dapat merasakan bahwa kegiatan pembelajaran menjadi milik mereka sendiri. Peserta didik mempunyai kewajiban dan harus bertanggung jawab untuk melakukan proses pembelajaran yang telah mereka tetapkan.

Peserta didik diikutsertakan pula dalam kegiatan identifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber, dan kemungkinan hambatan, serta dalam kegiatan merumuskan tujuan belajar. Kebutuhan belajar adalah setiap keinginan atau kehendak yang dirasakan dan dinyatakan oleh seseorang, masyarakat, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan/atau sikap tertentu melalui kegiatan pembelajaran. Sumber informasi tentang kebutuhan belajar adalah peserta didik atau calon peserta didik, masyarakat, dan atau organisasi yang fungsinya terkait dengan peranan dan tugas peserta didik. Dengan perkataan lain, bagi peserta didik yang mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat yang dibina oleh suatu lembaga atau organisasi yang menyelenggarakan pelayanan tersebut maka kebutuhan belajar itu dapat pula diidentifikasi dari lembaga/organisasi yang memberi tugas kepada peserta didik serta dari masyarakat yang menjadi sasaran layanan peserta didik.

Di dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, para peserta didik tidak hanya bertindak sebagai responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan belajar, tetapi mereka pun diberi peran dalam menyusun alat-alat atau instrumen pengumpulan data yang digunakan untuk menidentifikasi kebutuhan belajar. Demikian pula peserta didik dilibatkan dalam kegiatan evaluasi terhadap pembelajaran. Dalam tahap pelaksanaan kegiatan pembelajaran, para peserta didik ikut serta dalam mengembangkan bahan belajar yang cocok dengan kebutuhan belajar dan tepat untuk mencapai tujuan belajar. Singkatnya, para peserta didik diikutsertakan dan memegang peranan penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembelajaran. Dengan berpusat pada peserta didik, mengandung makna bahwa peserta didik lebih banyak berperan dalam proses kegiatan pembelajaran partisipatif.

2. Berangkat Dari Pengalaman Belajar (Experiential Learning)

Prinsip ini memberi arah bahwa kegiatan pembelajaran partisipatif disusun dan dilaksanakan dengan berangkat dari hal-hal yang telah dikuasai peserta didik atau dari pengalaman yang telah dimiliki peserta didik. Proses pembelajaran merupakan kegiatan peserta didik yang dilakukan secara bersama dalam situasi pengalaman nyata baik pengalaman dalam tugas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari maupun pengalaman yang diangkat dari tugas dalam proses kegiatan pembelajaran partisipatif adalah pendekatan pemecahan masalah karena pemecahan masalah merupakan pembelajaran yang lebih banyak menumbuhkan partisipasi para peserta didik. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa proses kegiatan pembelajaran partispatif dilakukan dengan berangkat dari pengetahuan, nilai dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik dan lebih menitik beratkan pada pendekatan pemecahan masalah.

3. Berorientasi Pada Tujuan (Goals Oriented)

Prinsip ini mengandung arti bahwa kegiatan pembelajaran partisipatif direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam perencanaan, tujuan belajar disusun dan dirumuskan berdasarkan kebutuhan belajar. Tujuan belajar itupun disusun dengan mempertimbangkan latar belakang pengalaman peserta didik, potensi yang dimilikinya, sumber-sumber yang tersedia pada lingkungan kehidupan mereka, serta kemungkinan hambatan dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu kebutuhan belajar, potensi dan sumber-sumber serta kemungkinan hambatan, perlu didentifikasi terlebih dahulu supaya tujuan belajar supaya tujuan belajar bisa dirumuskan secara tepat dan proses kegiatan pembelajaran partispatif dapat dirancang dan dilaksanakan dengan efektif. Tujuan (tujuan) khusus (objectives). Adapun karakteristik tujuan belajar dan cara penyusunannya telah dibicarakan pada bab sebelumnya. Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa setiap proses kegiatan pembelajaran partisipatif diarahkan untuk mencapai tujuan belajar yang telah disusun oleh pendidik bersama peserta didik serta diformulasikan oleh penyelenggara program pembelajaran.

4. Menekankan Kerja Sama

Berbeda dari pembelajaran tradisonal yang menekankan persaingan atau usaha individu, pembelajaran partisipatif menekankan kerja sama. Hal ini sesuai dengan pemahaman kita tentang dunia kerja di mana diperlulakan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Dengan kerja sama kita dapat memanfaatkan kelebihan kita dan kelebihan peserta yang lain untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

B. Ciri-ciri Pembelajaran Partisipatif

Proses kegiatan pembelajaran partisipatif berbeda dengan proses kegiatan pembelajaran tradisional. Pembelajaran partisipatif ditandai dengan interaksi antara pendidik dan peserta didik dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pendidik menempatkan diri pada kedudukan yang tidak serba mengetahui semua bahan belajar. Ia memandang peserta didik sebagai sumber yang mempunyai nilai bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran.

2. Pendidik memainkan peran untuk membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran itu berdasarkan atas kebutuhan belajar yang dirasakan perlu, penting, dan mendesak oleh peserta didik.

3. Pendidik melakukan motivasi terhadap peserta didik supaya berpartisipasi dalam menyusun tujuan belajar, bahan belajar, dan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam kegiatan pembelajaran.

4. Pendidik bersama peserta didik melakukan kegiatan saling belajar dengan cara bertukar pikiran mengenai isi, proses dan hasil kegiatan pembelajaran, serta tentang cara-cara dan langkah-langkah pengembangan pengalaman belajar untuk masa berikutnya. Pendidik memberikan pokok-pokok informasi dan mendorong peserta didik untuk mengemukakan dan mengembangkan pendapat serta gagasannya serta secara kreatif.

5. Pendidik berperan untuk membantu peserta didik dalam menciptakan situasi yang kondusif untuk belajar, mengembangkan semangat belajar bersama, dan saling tukar pikiran dan pengalaman secara terbuka sehingga para peserta didik melibatkan diri secara aktif dan bertanggung jawab dalam kegiatan pembelajaran.

6. Pendidik mengembangkan kegiatan pembelajaran berkelompok, memperhatikan minat perorangan, dan membantu peserta didik untuk mengoptimalkan respons terhadap stimulus yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran.

7. Pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan semangat berprestasi yaitu senantiasa berkeinginan untuk paling berhasil, semangat berkompetisi secara sehat, tidak melarikan diri dari tantangan, dan berorientasi pada kehidupan yang lebih baik di masa datang.

8. Pendidikan mendorong dan membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik sehingga mereka mampu berpikir dan bertindak terhadap dan di dalam dunia kehidupannya.

Daftar Pustaka

Sudjana, D. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah Production

Rabu, 18 November 2009

Latar Belakang

Latar Belakang:

Pendidikan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Pendidikan membantu membentuk watak seseorang. Pendidikan mempersiapkan seseorang untuk melaksanakan tugas-tugas di dalam pekerjaan maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Karena itu pendidikan dalam pengertian yang luas merupakan sesuatu yang sangat penting.

Pendidik bertanggung jawab untuk mendidik orang-orang yang siap untuk bersaing dalam lingkungan yang berubah dengan cepat. Lingkungan seperti ini menuntut orang-orang yang dapat mengantisipasi perubahan dan bahkan mengarahkan perubahan. Karena itu pendidik perlu membantu terciptanya orang-orang yang mampu berpikir kreatif dan memecahkan masalah yang muncul, yaitu orang-orang yang dapat berpikir bebas dan dapat melihat berbagai alternatif di dalam kehidupannya: seorang yang merdeka.

Untuk itu pendidik tidak cukup hanya menyampaikan pengetahuan dan berharap bahwa peserta didik akan menyerap pengetahuan itu. Hal ini tidak terlalu banyak gunanya di dalam dunia yang berubah dengan cepat ini, karena pengetahuan-pengetahuan pun berubah dengan cepat. Apa yang dipelajari tahun ini mungkin akan menjadi usang setahun yang akan datang. Karena itu, daripada hanya berusaha untuk memindahkan pengetahuannya kepada peserta didik, pendidik sebaiknya membantu peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan berpikir, dan mengembangkan sikap terbuka dan siap untuk menjelajahi berbagai kemungkinan. Dengan kata lain, pendidik harus memfasilitasi terbentuknya kebiasaan berpikir dan memecahkan masalah dalam diri peserta didik. Untuk itu pendidik perlu merancang dan memfasilitasi kegiatan belajar yang akan membantu peserta didik memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang mereka perlukan untuk berhasil dalam kehidupan dan pekerjaan mereka.

Salah satu pendekatan yang dapat memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan berpikir, dan mendapatkan pengetahuan ketrampilan dan sikap yang mereka perlukan adalah pendekatan pembelajaran transformasional (transformational learning). Dalam pendekatan pembelajaran transformasional, yang paling ditekankan adalah terjadinya perubahan di dalam diri pembelajar. Pembelajaran transformasional merupakan pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (learner-centered). Di dalam pendekatan ini digunakan metode pembelajaran aktif (active learning) dengan memanfaatkan pengalaman hidup sebagai dasar untuk pembelajaran (experiential learning), di mana peserta dilibatkan dalam setiap tahap pembelajaran (participatory learning) sehingga pembelajaran akan menjadi relevan bagi pembelajar.