Senin, 21 Desember 2009

RELEVANSI

Saya sering menanyakan kepada peserta pelatihan saya: "Mana yang lebih mudah, belajar berjalan atau belajar statistika?" Hampir semua peserta akan menjawab bahwa belajar berjalan lebih mudah daripada belajar statistika. Mereka mengajukan bukti dari kenyataan bahwa jauh lebih banyak orang yang dapat berjalan daripada yang pandai statistika. Saya akan bertanya lagi: "Kalau begitu mengapa jauh lebih mudah menulis program komputer (software) untuk statistika daripada membuat robot berjalan?"

Saya membandingkan kegiatan belajar berjalan dan kegiatan belajar statistika karena keduanya melibatkan komputasi yang cukup rumit. Untuk dapat berjalan otak seorang anak atau pogram komputer di dalam sebuah robot harus memperhitungkan beberapa variabel sekaligus: besar dan arah gaya gravitasi; bentuk permukaan jalan; bentuk, susunan dan posisi otot; posisi tubuh; posisi dan gerakan benda-benda lain; dan lain-lain. Lalu otak harus mempertimbangkan suatu tindakan atau tanggapan untuk mengatasi atau memanfaatkan semua aspek tersebut. Otak harus melakukan semua itu secara bersamaan. Jadi ketika belajar berjalan otak mempertimbangkan dan menghitung begitu banyak variabel sekaligus dalam waktu yang singkat. Itulah sebabnya anak yang berumur satu tahun atau orang tua yang baru mengalami stroke ketika belajar berjalan akan terlihat kaku dan tertatih-tatih. Itu karena otak harus memproses semua variabel itu sekaligus, dan otak belum terlatih untuk melakukannya, sehingga pemrosesan berjalan tersendat-sendat. Sedangkan ketika belajar statistika variabel yang dipertimbangkan sangat terbatas. Itulah sebabnya para programmer lebih mudah menulis program komputer untuk melakukan perhitungan-perhitungan statistika daripada untuk membuat robot berjalan. Hal ini terbukti juga dari kenyataan bahwa program komputer yang harus dikembangkan untuk membuat sebuah robot, seperti ASIMO, dapat berjalan jauh lebih rumit dan lebih besar daripada program komputer untuk perhitungan-perhitungan statistika.

Lalu mengapa kelihatannya lebih mudah bagi seorang anak untuk belajar berjalan daripada untuk belajar statistika? Jawabannya adalah relevansi. Kemampuan berjalan sangat penting bagi kehidupan seorang anak, sehingga sangat relevan baginya. Karena itu seorang anak akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk belajar berjalan. Sedangkan ketika belajar statistika seorang anak biasanya tidak melihat relevansinya bagi kehidupannya, sehingga anak kurang termotivasi untuk mempelajarinya, walaupun secara implisit setiap individu melakukan perhitungan-perhitungan statistika dalam kehidupannya sehari-hari.

Pertimbangkan contoh lain: kemampuan manusia berkomunikasi memakai bahasa. Untuk dapat berkomunikasi memakai bahasa seseorang harus dapat memproses informasi yang disampaikan lawan bicara. Otak harus melakukan komputasi terhadap rangkaian frekuensi suara yang sampai kepadanya melalui telinga, dan memutuskan apa maknanya. Bayangkan berapa banyak kombinasi frekuensi yang harus dipertimbangkan otak, berapa banyak kombinasi kata-kata, berapa banyak kombinasi frasa, berapa banyak kombinasi kalimat. Otak juga harus mempertimbangkan nuansa pembicaraan, sesuatu yang tidak diucapkan, tetapi tersirat dari gerak tubuh dan raut muka lawan bicara. Sesudah memahami maksud lawan bicara, otak juga harus melakukan komputasi terhadap tanggapan yang harus diberikan. Otak harus mempertimbangkan tinggi rendahnya frekuensi suara, urutan dan kecepatan pengucapan. Lalu sesudah itu otak harus mengatur posisi lidah, gigi, bibir, pita suara, dan lain-lain. Bahkan otak juga harus mengatur raut muka dan postur tubuh yang sesuai untuk menyampaikan maksudnya. Dan semua komputasi itu harus dilakukan hanya dalam beberapa detik. Hal ini membuat seorang ahli kognitif berkata dengan penuh kekaguman: "Mempertimbangkan banyaknya variabel yang harus dipertimbangkan, sungguh mengagumkan bahwa kita dapat berkomunikasi!" Kenyataannya kita dapat berkomunikasi, kadang-kadang bukan hanya dalam satu bahasa, tetapi dalam dua atau lebih bahasa. Sungguh mengagumkan. Sampai sekarang belum ada komputer yang mampu berkomunikasi seperti manusia.

Kenyataan bahwa otak memiliki kemampuan untuk melakukan semua komputasi yang diperlukan untuk dapat berjalan dan untuk berkomunikasi dengan bahasa serta melakukan ketrampilan-ketrampilan yang lain, menunjukkan bahwa otak memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Otak mengandung kira-kira 100 miliar sel otak (neuron). Berdasarkan penelitian Henry Markram, diperlukan satu laptop untuk melakukan komputasi yang dilakukan sebuah neuron. Itu berarti kemampuan komputasi otak seorang anak setara dengan kemampuan 100 miliar laptop. Bayangkan apa yang dapat dilakukan otak dengan kemampuan seperti itu. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa setiap anak terlahir sebagai jenius. Karena itu saya tidak setuju dengan konsep kecerdasan majemuk (multiple inteligences) Howard Gardner yang membatasi kecerdasan pada delapan macam kecerdasan saja. Pengkotak-kotakan kecerdasan seperti itu malahan tidak produktif. Menurut saya anak lahir dengan kecerdasan yang hampir tidak terbatas.

Jadi mengapa banyak anak kurang berhasil di sekolah? Ada beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah karena anak merasa pelajaran-pelajaran yang dipelajari tidak relevan dengan kehidupannya. Perhatikan bahwa saya mengatakan merasa. Ini berarti bahwa persepsi anak sangat menentukan di sini. Mungkin saja beberapa pelajaran akan sangat menentukan keberhasilan seorang anak di masa depan, tetapi kalau seorang anak tidak merasa pelajaran tersebut relevan bagi kehidupannya, dia tidak akan termotivasi untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Belajar memerlukan kerja otak yang sangat keras. Bayangkan kalau seorang anak merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak relevan dengan kehidupannya.

Apakah itu berarti anak tidak usah mempelajari pelajaran-pelajaran yang seolah-olah tidak relevan bagi kehidupannya? Tentu anak perlu mempelajari apa yang akan berguna bagi kehidupannya kelak. Tetapi supaya anak berhasil mempelajarinya, anak harus merasakan relevansi pelajaran itu bagi kehidupannya sekarang. Berbagai penelitian pendidikan menunjukkan bahwa relevansi pelajaran sangat menentukan besarnya motivasi dan pada gilirannya menentukan tingkat keberhasilan anak didik mempelajarinya. Relevansi juga menentukan kemudahan anak memahami pelajaran, karena untuk informasi-informasi yang dianggap relevan anak sudah memiliki informasi-informasi yang dibutuhkan untuk memprosesnya, sehingga mengurangi beban kognitifnya.

Pendidik bisa saja mengatakan kepada anak bahwa pelajaran tertentu akan menentukan keberhasilan anak kelak, sehingga pasti relevan dengan kehidupannya, tetapi hal itu biasanya tidak efektif. Anak harus dapat merasakan sendiri relevansi pelajaran tersebut dalam kehidupannya. Karena itu salah satu tantangan lembaga pendidikan adalah membuat pelajaran-pelajaran yang diajarkan benar-benar relevan dengan kehidupan anak.

Salah satu cara untuk membuat pelajaran menjadi relevan adalah dengan mengintegrasikan pelajaran ke dalam pengalaman hidup sehari-hari anak. Hal ini berarti melakukan kontekstualisasi dengan lingkungan dan budaya masyarakat setempat. Lingkungan dan budaya setempat sangat menentukan jenis ketrampilan yang dikembangkan seorang anak. Michael Merzenich memberikan contoh bagaimana mudahnya seorang anak dari Sao Paolo, Brazil, untuk memainkan bola dengan kepalanya. Atau lihatlah betapa elegan tangan dan jari-jari anak-anak Bali melakukan gerakan tari atau memahat patung. Pendidik dapat memanfaatkan keuntungan ini dengan mengintegrasikan pelajaran dengan ketrampilan-ketrampilan "alami" anak.

Cara yang lain untuk membuat pelajaran relevan adalah dengan memasukkan pembelajaran dalam kegiatan yang paling relevan dengan anak, yaitu kegiatan bermain. Cara yang lain lagi adalah dengan melakukan bermain peran (role play), yang akan memberi anak kesempatan untuk merasakan kira-kira seperti apa pengalaman orang-orang yang terlibat dalam suatu peristiwa sejarah tertentu, atau melakukan suatu pekerjaan atau keahlian tertentu.

Jelas bahwa masing-masing pendidik perlu merancang dan menyusun bahan ajarnya sendiri yang sesuai dengan anak didik yang sedang dihadapinya. Dan jelas pula bahwa keberhasilan pendidikan seperti ini tidak akan dapat diukur melalui ujian nasional yang memukul rata semua anak di seluruh Nusantara yang penuh keragaman budaya dan lingkungan ini. Jadi langkah pertama untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan adalah menghapuskan UAN. Ujian nasional memang diperlukan untuk bench-marking mutu pendidikan secara nasional. Tetapi ujian nasional sebaiknya hanya ditawarkan kepada masing-masing individu yang ingin mengetahui posisinya dibandingkan dengan standar nasional, bukan untuk menentukan kelulusan siswa.