Jumat, 20 November 2009

Mengatasi Krisis Pendidikan di Indonesia

Ironis. Itulah pikiran yang muncul ketika mengamati dunia pendidikan di negeri ini. Ketika pendidikan di negara-negara yang lain dalam praktek belajar mengajarnya telah menerapkan hasil-hasil penelitian tentang bagaimana siswa belajar, sehingga siswa larut dalam kegiatan belajar (engaged in the learning activities), pendidikan di Indonesia malah menghasilkan generasi yang suka tawuran dan tidak siap untuk menghadapi tantangan kehidupan. Bukan hanya pada tingkat sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas, bahkan pada tingkat sekolah dasarpun sering terjadi perkelahian siswa.

Berkenaan dengan perkelahian dan tawuran pelajar ini, beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan ada hubungan yang terbalik antara keterlibatan siswa dalam berbagai tindakan anti-sosial dan kejahatan dengan keterlibatan (engagement) siswa dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Semakin tinggi keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar, semakin rendah kemungkinannya terlibat dalam tindakan anti-sosial dan kejahatan. Dan sebaliknya.



Jalan di Tempat

Beberapa teman, ketika mengamati kondisi pendidikan di Indonesia, berkata bahwa pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran. Hal itu tentu saja tidak benar. Pendidikan di Indonesia masih sama seperti tiga puluh tahun yang lalu. Itulah masalahnya. Ketika pendidikan di negara-negara yang lain maju dengan pesat, pendidikan di Indonesia masih berjalan di tempat.

Masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia terjadi karena sistem pendidikan masih menerapkan konsep dan praktek-praktek pendidikan yang sudah ketinggalan zaman, yang dikembangkan lebih dari satu abad yang lalu.



Beberapa Masalah Penting

Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis pendidikan di Indonesia:

Pertama, kurikulum yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat. Di sekolah-sekolah di Indonesia siswa diwajibkan untuk mempelajari banyak sekali mata pelajaran yang kadang-kadang tidak ada kaitannya satu sama lain, dan sama sekali tidak relevan dengan kehidupan siswa. Misalnya, siswa kelas dua SD di Bandung dipaksa mempelajari sebelas mata pelajaran setiap semester. Bandingkan dengan sekolah-sekolah Internasional di mana siswa hanya mempelajari lima sampai enam mata pelajaran. Secara sederhana saja langsung terlihat bahwa siswa di sekolah-sekolah Internasional memiliki waktu dua kali lebih banyak daripada siswa di sekolah-sekolah Indonesia. Penelitian terbaru dalam bidang psikologi kognitif dan neuroscience menunjukkan bahwa bukan banyaknya informasi yang akan menentukan apakah seseorang akan menjadi ahli (expert) dalam suatu bidang, melainkan bagaimana berbagai informasi yang ada disusun dalam suatu skema atau model mental yang mudah diakses ketika diperlukan. Dalam proses penyusunan informasi itu ke dalam suatu skema atau model mental, orang yang ahli biasanya menyingkirkan informasi-informasi yang tidak relevan, dan menyusun ulang informasi-informasi yang relevan saja. Hal ini akan membuat proses mengakses informasi itu menjadi efisien. Hal itulah yang membuat seorang ahli terlihat begitu lancar dan elegan dalam mengerjakan apa yang menjadi keahliannya, seolah-olah dia tidak perlu berpikir lagi dalam melakukannya. Sebaliknya, banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari di sekolah tidak memberi kesempata bagi siswa untuk menyusun skema yang dapat diakses dengan efisien.

Kedua, praktek-praktek pendidikan, seperti perencanaan, pengajaran, dan evaluasi hasil belajar yang tidak sesuai. Kebanyakan guru tidak membuat rencana pengajaran (lesson plan) yang memadai. Beberapa guru yang pernah penulis wawancarai mengakui bahwa mereka hanya membaca kembali bahan yang akan diajarkan keesokan harinya, tanpa mengkaji ulang apakah bahan yang akan diajarkan masih valid dan bagaimana mengantisipasi situasi belajar yang mungkin tidak sesuai dengan rencana. Misalnya, apa yang harus dilakukan oleh guru kalau siswa terlihat kurang termotivasi.

Dari pengamatan yang penulis lakukan di beberapa sekolah juga terlihat bahwa guru sangat bergantung pada metode ceramah ketika menyampaikan pelajaran. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh para guru adalah padatnya pelajaran dan kurangnya waktu untuk menyelesaikan bahan yang sudah ditetapkan oleh DEPDIKNAS. Tetapi dari pengamatan penulis, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan para guru. Pendapat ini sejalan dengan Darling-Hammond (dalam Woolfolk, 2004) yang meneliti bagaimana kualifikasi guru berhubungan dengan prestasi siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas guru, yang dinilai dari sertifikat mengajar dan gelar kesarjanaan dalam bidang yang diajarnya, memiliki hubungan yang nyata dengan prestasi siswa.

Masalah yang lain adalah penilaian atau evaluasi hasil belajar mengajar. Ada pemikiran bahwa ujian atau evaluasi hasil belajar hanya merupakan sarana untuk menilai kemampuan siswa. Padahal evaluasi hasil belajar seharusnya merupakan sarana untuk menilai keberhasilan guru dan sistem pendidikan dalam membantu anak didik meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Di samping itu, sampai sekarang penilaian hasil belajar siswa kebanyakan dilakukan melalui ujian tertulis, yang biasa disebut paper and pencil test. Hal ini masih diperburuk oleh pelaksanaan ujian akhir nasional, yang memukul rata semua siswa di seluruh wilayah tanah air ini, seolah-olah siswa di Papua tidak ada bedanya dengan siswa di Jawa atau daerah lainnya. Beberapa ahli pendidikan sebenarnya sudah mengusulkan untuk melakukan penilaian berdasarkan portfolio siswa, tetapi dalam prakteknya belum ada sekolah yang melakukannya. Hal ini mungkin disebabkan sulitnya melakukan penilaian berdasarkan portfolio ini, karena setiap individu siswa harus dinilai berdasarkan perkembangannya sendiri. Kebanyakan guru kelihatannya belum mampu untuk melaksanakan cara ini.

Ketiga, pengembangan diri guru yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah pengembangan diri guru merupakan masalah yang klasik. Kebanyakan sekolah tidak memiliki rencana definitif untuk membantu guru mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya mengajar. Karena itu perkembangan kemampuan guru sangat tergantung pada usaha dan kreativitas guru sendiri sebagai individu.



Beberapa Hasil Penelitian:

Banyak penelitian menunjukkan bahwa cara belajar yang paling berhasil adalah yang melibatkan siswa aktif dalam pembelajarannya. Tetapi apa yang terjadi di ruang-ruang kelas sekolah di Indonesia. Anak-anak duduk diam mendengarkan guru. Pembelajaran berjalan membosankan. Memang beberapa tahun yang lalu ada usaha untu mengembangan cara belajar yang melibatkan siswa secara aktif, yang dikenal dengan nama "Cara Belajar Siswa Aktif" (CBSA). Tetapi karena kurangnya dukungan terhadap pelaksanaan cara belajar ini, akhirnya guru sendiri kebingungan untuk menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajarnya, sampai ada beberapa guru yang memplesetkan singkatan CBSA menjadi Catat Bahan Sampai Abis. Pada akhirnya program ini terhenti begitu saja.

Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran yang berhasil adalah di mana siswa melakukan konstruksi terhadap pengetahuannya. Ini berarti siswa diberi kesempatan untuk memasuki pengalaman belajar yang menantang pemikirannya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan pengetahuan yang didapat dari pengalaman itu. Sesuai dengan itu proses belajar yang paling berhasil adalah di mana siswa berusaha memecahkan masalah, khususnya yang berkaitan dengan kehidupannya. Hal ini akan membuat pembelajaran itu relevan dengan kehidupan siswa.

Untuk memecahkan masalah, sering kali siswa harus bekerja sama dengan siswa yang lain. Tetapi di sekolah-sekolah di Indonesia, siswa yang bekerja sama dianggap curang. Tentu saja siswa yang bekerja sama dianggap curang karena sistem pengujian yang dangkal dan hanya menguji ingatan siswa, tidak memberi kesempatan siswa untuk mengungkapkan pemahaman yang mendalam.

Penelitian-penelitian dalam psikologi pendidikan dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa proses belajar akan berlangsung paling baik kalau anak belajar dalam suasana yang menyenangkan. Beberapa penelitian dalam bidang neuroscinece bahkan menunjukkan pembelajaran paling berhasil ketika otak dalam keadaan rileks. Hal ini menjelaskan mengapa apa yang dipelajari di Taman Kanak-kanak (TK) biasanya terus diingat oleh anak sampai dewasa. Pelajaran itu melekat dalam pikiran anak karena dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, yaitu di mana anak belajar sambil bermain. Atau lebih tepat lagi, anak bermain sambil belajar. Proses belajar menjadi bagian dari kegiatan bermain itu.

Bukan hanya untuk anak yang masih kecil, untuk anak yang lebih tuapun prinsip ini berlaku. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa kegiatan belajar yang paling berhasil terjadi dalam suasana bermain, baik untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa. Hal ini dinyatakan dengan ungkapan “No laughing, no learning.” Kalau tidak ada tawa, tidak belajar.

Bandingkan dengan suasana belajar di kebanyakan kelas di sekolah-sekolah, di mana bercanda di dalam kelas dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap otoritas guru. Bagaimana otak yang begitu tegang itu dapat belajar dengan baik? Tentu saja tidak dapat. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa biasanya siswa lupa apa yang dipelajarinya selama satu semester segera setelah dia selesai ujian akhir semester itu.



Penutup:

Kalau mau mengejar ketinggalan yang sangat jauh ini, dunia pendidikan di Indonesia harus mengubah sistem pendidikan yang ada. Dunia pendidikan harus memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang ada.

Ada tiga prinsip umum yang harus dipakai dalam sistem pendidikan. Pertama, kurikulum dan evaluasi harus disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, bahkan harus sesuai dengan masing-masing individu pembelajar kalau mungkin. Kedua, pengajaran harus memakai pendekatan siswa aktif di mana pembelajar diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman dan interaksinya dengan bahan, dengan pengajar dan dengan sesama siswa. Ketiga, pengajar harus membangun suasana belajar yang menyenangkan di mana siswa dapat bermain sambil belajar.

Kamis, 19 November 2009

Dasar-dasar Pembelajaran Partisipatif


Pembelajaran partispatif adalah kegiatan pembelajaran di mana semua pihak, termasuk pendidik dan peserta didik, terlibat secara akhtif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Keikutsertaan peserta didik itu diwujudkan dalam tiga tahapan kegiatan pembelajaran yaitu tahap perencanaan program (program planning), pelaksanaan (program implementtion), dan penilaian (program evaluation) kegiatan pembelajaran.

Pada tahap perencanaan keterlibatan peserta didik diwujudkan dalam kegiatan mengidentifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber atau potensi yang tersedia, permasalahan dan prioritas masalah, dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran. Kebutuhan belajar dinyatakan oleh peserta didik sebagai keinginan yang dirasakan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan/atau nilai yang diperlukan dalam kehidupan atau tanggung jawab pekerjaannya. Kebutuhan-kebutuhan belajar tersebut kemudian ditata secara cermat dan berurutan. Selanjutnya ditentukan urutan prioritas kebutuhan belajaran atas dasar kepentingan dan kesegeraannya untuk dipenuhi melalui kegiatan belajar.

Selanjutnya peserta didik dilibatkan dalam merumuskan tujuan belajar. Tujuan belajar merupakan pernyataan mengenai apa yang akan dicapai atau diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar. Tujuan belajar berkaitan erat dengan kebutuhan belajar. Perolehan belajar itu dapat berupa pengetahuan, keterampilan, dan/atau nilai-nilai yang menjadi bagian dari kehidupan peserta didik. Untuk mencapai tujuan belajar itu akan ditetapkan program pembelajaran. Program pembelajaranegiatan ini mencakup apa yang akan dipelajari, metode dan teknik pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, alat-alat dan fasilitas, waktu yang digunakan, dan lain sebagainya. Singkatnya, keikutsertaan peserta didik dalam tahap perencanaan kegiatan pembelajaran meliputi identifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber yang tersedia dan kemungkinan hambatan yang akan ditemui dalam kegiatan pembelajaran, penyusunan prioritas kebutuhan, perumusan tujuan belajar dan penetapan program kegiatan pembelajaran.

Pada tahap pelaksanaan program pembelajaran peserta didik dilibatkan dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Iklim yang kondusif ini mencakup pertama, kedisiplinan peserta didik yang ditandai dengan keteraturan dalam kehadiran pada setiap kegiatan pembelajaran. Kedua, pembinaan hubungan antar peserta didik dan antara peserta didik dengan pendidik sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, saling membantu, dan saling belajar. Ketiga, interaksi kegiatan pembelajaran antara peserta didik dan pendidik dilakukan melalui hubungan horisontal. Hubungan ini menggambarkan terjalinnya komunikasi yang sejajar baik antara peserta didik dengan pendidik maupun antar peserta didik. Keempat, tekanan kegiatan pembelajaran adalah pada peranan peserta didik yang lebih aktif melakukan kegiatan pembelajaran, bukan pada pendidik yang lebih mengutamakan kegiatan mengajar. Pendekatan kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik, tidak terpusat pada pendidik. Penyusunan bahan belajar dan penentuan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dilakukan oleh para peserta didik bersama pendidik atau oleh para peserta didik dengan bimbingan pendidik. Peranan pendidik ialah membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa situasi kegiatan pembelajaran yang dapat mengembangkan interaksi yang efektif dapat ditumbuhkan apabila peserta didik ikut serta secara aktif dalam pelaksanaan program kegiatan pembelajaran.

Pada tahap evaluasi program pembelajaran peserta didik dilibatkan dalam menetukan apa yang akan dievaluasi, bagaimana evalusi dilakukan, dan kapan saja evaluasi akan dilakukan. Selain itu peserta didik juga dilibatkan dalam pelaksanaan evaluasi. Evaluasi dapat digunakan baik untuk penilaian pelaksanaan pembelajaran maupun untuk penilaian pengelolaan program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan pembelajaran mencakup penilaian terhadap proses, hasil, dan dampak pembelajaran. Penilaian terhadap proses pembelajaran untuk mengetahui sejauhmana kesesuaian antara poses yang telah direncanakan denagan pelaksanaannya. Penilaian terhadap hasil pembelajaran untuk mengetahui mengenai perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, nilai, aspirasi) yang dialami peserta didik atau lulusan setelah mengikuti program pembelajaran. Penilaian terhadap dampak pembelajaran adalah untuk mengetahui perubahan kehidupan lulusan setelah menerapkan hasil belajarnya seperti dalam perolehan atau peningkatan pendapatan, pembelajaran orang lain, dan keikutsertaannya dalam pembangunan masyarakat. Evaluasi terhadap pengelolaan program pembelajaran dilakukan untuk menilai perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan program pembelajaran.

B. Prinsip Dasar Pembelajaran Partisipatif

Di bawah ini akan dibicarakan beberapa prinsip dasar pembelajaran partisipatif.

1. Berpusat pada Peserta (Learner Centered)

Proses kegiatan pembelajaran partisipatif yang berpusat pada peserta didik (learner centered). Hal ini berarti bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan itu didasarkan atas dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Latar belakang kehidupan tersebut perlu menjadi perhatian utama dan dijadikan dasar dalam penyusunan rencana kegiatan pembelajaran partisipatif. Rencana kegiatan pembelajaran mencakup antara lain langkah-langkah, materi, fasilitas, alat bantu, dan evaluasi proses, keluaran, dan pengaruh pembelajaran. Latar belakang kehidupan meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, tugas atau pekerjaan yang sedang ditekuni, dan lain sebagainya. Dalam menyusun proses kegiatan pembelajaran ini peserta didik memegang peranan utama sehingga mereka dapat merasakan bahwa kegiatan pembelajaran menjadi milik mereka sendiri. Peserta didik mempunyai kewajiban dan harus bertanggung jawab untuk melakukan proses pembelajaran yang telah mereka tetapkan.

Peserta didik diikutsertakan pula dalam kegiatan identifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber, dan kemungkinan hambatan, serta dalam kegiatan merumuskan tujuan belajar. Kebutuhan belajar adalah setiap keinginan atau kehendak yang dirasakan dan dinyatakan oleh seseorang, masyarakat, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan/atau sikap tertentu melalui kegiatan pembelajaran. Sumber informasi tentang kebutuhan belajar adalah peserta didik atau calon peserta didik, masyarakat, dan atau organisasi yang fungsinya terkait dengan peranan dan tugas peserta didik. Dengan perkataan lain, bagi peserta didik yang mempunyai tugas pelayanan kepada masyarakat yang dibina oleh suatu lembaga atau organisasi yang menyelenggarakan pelayanan tersebut maka kebutuhan belajar itu dapat pula diidentifikasi dari lembaga/organisasi yang memberi tugas kepada peserta didik serta dari masyarakat yang menjadi sasaran layanan peserta didik.

Di dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, para peserta didik tidak hanya bertindak sebagai responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan belajar, tetapi mereka pun diberi peran dalam menyusun alat-alat atau instrumen pengumpulan data yang digunakan untuk menidentifikasi kebutuhan belajar. Demikian pula peserta didik dilibatkan dalam kegiatan evaluasi terhadap pembelajaran. Dalam tahap pelaksanaan kegiatan pembelajaran, para peserta didik ikut serta dalam mengembangkan bahan belajar yang cocok dengan kebutuhan belajar dan tepat untuk mencapai tujuan belajar. Singkatnya, para peserta didik diikutsertakan dan memegang peranan penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembelajaran. Dengan berpusat pada peserta didik, mengandung makna bahwa peserta didik lebih banyak berperan dalam proses kegiatan pembelajaran partisipatif.

2. Berangkat Dari Pengalaman Belajar (Experiential Learning)

Prinsip ini memberi arah bahwa kegiatan pembelajaran partisipatif disusun dan dilaksanakan dengan berangkat dari hal-hal yang telah dikuasai peserta didik atau dari pengalaman yang telah dimiliki peserta didik. Proses pembelajaran merupakan kegiatan peserta didik yang dilakukan secara bersama dalam situasi pengalaman nyata baik pengalaman dalam tugas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari maupun pengalaman yang diangkat dari tugas dalam proses kegiatan pembelajaran partisipatif adalah pendekatan pemecahan masalah karena pemecahan masalah merupakan pembelajaran yang lebih banyak menumbuhkan partisipasi para peserta didik. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa proses kegiatan pembelajaran partispatif dilakukan dengan berangkat dari pengetahuan, nilai dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik dan lebih menitik beratkan pada pendekatan pemecahan masalah.

3. Berorientasi Pada Tujuan (Goals Oriented)

Prinsip ini mengandung arti bahwa kegiatan pembelajaran partisipatif direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam perencanaan, tujuan belajar disusun dan dirumuskan berdasarkan kebutuhan belajar. Tujuan belajar itupun disusun dengan mempertimbangkan latar belakang pengalaman peserta didik, potensi yang dimilikinya, sumber-sumber yang tersedia pada lingkungan kehidupan mereka, serta kemungkinan hambatan dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu kebutuhan belajar, potensi dan sumber-sumber serta kemungkinan hambatan, perlu didentifikasi terlebih dahulu supaya tujuan belajar supaya tujuan belajar bisa dirumuskan secara tepat dan proses kegiatan pembelajaran partispatif dapat dirancang dan dilaksanakan dengan efektif. Tujuan (tujuan) khusus (objectives). Adapun karakteristik tujuan belajar dan cara penyusunannya telah dibicarakan pada bab sebelumnya. Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa setiap proses kegiatan pembelajaran partisipatif diarahkan untuk mencapai tujuan belajar yang telah disusun oleh pendidik bersama peserta didik serta diformulasikan oleh penyelenggara program pembelajaran.

4. Menekankan Kerja Sama

Berbeda dari pembelajaran tradisonal yang menekankan persaingan atau usaha individu, pembelajaran partisipatif menekankan kerja sama. Hal ini sesuai dengan pemahaman kita tentang dunia kerja di mana diperlulakan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Dengan kerja sama kita dapat memanfaatkan kelebihan kita dan kelebihan peserta yang lain untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

B. Ciri-ciri Pembelajaran Partisipatif

Proses kegiatan pembelajaran partisipatif berbeda dengan proses kegiatan pembelajaran tradisional. Pembelajaran partisipatif ditandai dengan interaksi antara pendidik dan peserta didik dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pendidik menempatkan diri pada kedudukan yang tidak serba mengetahui semua bahan belajar. Ia memandang peserta didik sebagai sumber yang mempunyai nilai bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran.

2. Pendidik memainkan peran untuk membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran itu berdasarkan atas kebutuhan belajar yang dirasakan perlu, penting, dan mendesak oleh peserta didik.

3. Pendidik melakukan motivasi terhadap peserta didik supaya berpartisipasi dalam menyusun tujuan belajar, bahan belajar, dan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam kegiatan pembelajaran.

4. Pendidik bersama peserta didik melakukan kegiatan saling belajar dengan cara bertukar pikiran mengenai isi, proses dan hasil kegiatan pembelajaran, serta tentang cara-cara dan langkah-langkah pengembangan pengalaman belajar untuk masa berikutnya. Pendidik memberikan pokok-pokok informasi dan mendorong peserta didik untuk mengemukakan dan mengembangkan pendapat serta gagasannya serta secara kreatif.

5. Pendidik berperan untuk membantu peserta didik dalam menciptakan situasi yang kondusif untuk belajar, mengembangkan semangat belajar bersama, dan saling tukar pikiran dan pengalaman secara terbuka sehingga para peserta didik melibatkan diri secara aktif dan bertanggung jawab dalam kegiatan pembelajaran.

6. Pendidik mengembangkan kegiatan pembelajaran berkelompok, memperhatikan minat perorangan, dan membantu peserta didik untuk mengoptimalkan respons terhadap stimulus yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran.

7. Pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan semangat berprestasi yaitu senantiasa berkeinginan untuk paling berhasil, semangat berkompetisi secara sehat, tidak melarikan diri dari tantangan, dan berorientasi pada kehidupan yang lebih baik di masa datang.

8. Pendidikan mendorong dan membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik sehingga mereka mampu berpikir dan bertindak terhadap dan di dalam dunia kehidupannya.

Daftar Pustaka

Sudjana, D. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah Production

Rabu, 18 November 2009

Latar Belakang

Latar Belakang:

Pendidikan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Pendidikan membantu membentuk watak seseorang. Pendidikan mempersiapkan seseorang untuk melaksanakan tugas-tugas di dalam pekerjaan maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Karena itu pendidikan dalam pengertian yang luas merupakan sesuatu yang sangat penting.

Pendidik bertanggung jawab untuk mendidik orang-orang yang siap untuk bersaing dalam lingkungan yang berubah dengan cepat. Lingkungan seperti ini menuntut orang-orang yang dapat mengantisipasi perubahan dan bahkan mengarahkan perubahan. Karena itu pendidik perlu membantu terciptanya orang-orang yang mampu berpikir kreatif dan memecahkan masalah yang muncul, yaitu orang-orang yang dapat berpikir bebas dan dapat melihat berbagai alternatif di dalam kehidupannya: seorang yang merdeka.

Untuk itu pendidik tidak cukup hanya menyampaikan pengetahuan dan berharap bahwa peserta didik akan menyerap pengetahuan itu. Hal ini tidak terlalu banyak gunanya di dalam dunia yang berubah dengan cepat ini, karena pengetahuan-pengetahuan pun berubah dengan cepat. Apa yang dipelajari tahun ini mungkin akan menjadi usang setahun yang akan datang. Karena itu, daripada hanya berusaha untuk memindahkan pengetahuannya kepada peserta didik, pendidik sebaiknya membantu peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan berpikir, dan mengembangkan sikap terbuka dan siap untuk menjelajahi berbagai kemungkinan. Dengan kata lain, pendidik harus memfasilitasi terbentuknya kebiasaan berpikir dan memecahkan masalah dalam diri peserta didik. Untuk itu pendidik perlu merancang dan memfasilitasi kegiatan belajar yang akan membantu peserta didik memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang mereka perlukan untuk berhasil dalam kehidupan dan pekerjaan mereka.

Salah satu pendekatan yang dapat memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan berpikir, dan mendapatkan pengetahuan ketrampilan dan sikap yang mereka perlukan adalah pendekatan pembelajaran transformasional (transformational learning). Dalam pendekatan pembelajaran transformasional, yang paling ditekankan adalah terjadinya perubahan di dalam diri pembelajar. Pembelajaran transformasional merupakan pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (learner-centered). Di dalam pendekatan ini digunakan metode pembelajaran aktif (active learning) dengan memanfaatkan pengalaman hidup sebagai dasar untuk pembelajaran (experiential learning), di mana peserta dilibatkan dalam setiap tahap pembelajaran (participatory learning) sehingga pembelajaran akan menjadi relevan bagi pembelajar.