Kamis, 26 November 2009

Kisah Sebuah Sekolah

Setiap anak terlahir dengan potensi yang luar biasa. Otak setiap anak siap untuk belajar dan mencipta. Tidak mengherankan kalau kita sering bertanya dalam hati apakah cerita yang diceritakan dengan begitu hidup oleh seorang anak berumur empat tahun itu kejadian sebenarnya atau hanya rekaannya. Mudah sekali bagi anak usia itu untuk menciptakan cerita seperti itu, karena imajinasi anak begitu hidup.

Tetapi di Indonesia, setelah anak lulus dari sekolah menengah, sebagian besar dari mereka tidak berguna untuk apapun kecuali untuk pekerjaan kasar, yang nota bene tidak mau mereka kerjakan, karena mereka tidak punya inisiatif dan daya cipta. Bagaimana otak yang luar biasa itu dapat diubah begitu drastis oleh kira-kira dua belas tahun masa sekolah? Sistem pendidikan kitalah yang membuatnya demikian. Sistem pendidikan kita mematikan daya cipta dan kemampuan otak anak untuk belajar secara mandiri. Keluaran sistem pendidikan kita adalah orang-orang muda yang mungkin menghafalkan banyak informasi, tetapi tidak tahu bagaimana menemukan dan menggunakan informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tertentu atau untuk meningkatkan kemampuannya.

Sudah sering dibahas bahwa duduk diam mendengarkan seorang guru berceramah selama 90 menit bukan merupakan cara yang efektif bagi anak untuk belajar sesuatu yang berguna bagi kehidupannya. Tetapi itulah yang dilakukan para pendidik kita. Anak-anak dibuat bosan karena dipaksa duduk diam selama berjam-jam. Lebih dari 60% waktu itu biasanya dipakai untuk melamun, atau mengganggu teman yang lain, atau menggambar kartun guru yang sedang mengajar, atau membaca buku porno yang diselipkan di tengah lembaran buku...

Untunglah sudah ada beberapa sekolah yang menyadari kesalahan ini, dan melakukan sesuatu yang berbeda. Untuk tidak dianggap sebagai iklan, saya tidak akan menyebutkan nama sekolah menengah yang akan dijadikan contoh berikut ini. Yang jelas ini bukan salah satu sekolah negeri.

Di sekolah ini tingkat kehadiran sangat tinggi. Hampir tidak ada anak yang absen, kecuali karena sakit atau urusan yang betul-betul penting. Anak-anak selalu datang lebih cepat dan pulang lebih lambat dari jadwal. Dan mereka sangat menikmati lingkungan sekolah yang ditata dengan sangat baik, yang dikerjakan bersama oleh guru-guru dan murid-murid.

Walaupun masih memakai kurikulum nasional yang sentralistik dan kurang relevan itu, sekolah ini memodifikasinya begitu rupa sehingga sangat mengurangi beban kognitif yang akan diterima anak. Salah satu caranya adalah dengan melakukan koordinasi di antara sesama guru, sehingga setiap mata pelajaran dikaitkan dan dibangun di atas dan dijadikan landasan untuk mata pelajaran lainnya. Jadi, misalnya, setelah selesai pelajaran IPS, guru Bahasa Indonesia yang mengajar pada jam selanjutnya dapat memakai bahan yang dipelajari pada jam pelajaran IPS untuk mengajarkan Bahasa Indonesia, sehingga ada kesinambungan bahan. Hal ini terbukti mengurangi beban kognitif siswa. Tentu saja ini menuntut para guru untuk mengembangkan bahan ajarnya sendiri, dengan berkoordinasi dengan koleganya, dan tidak hanya bergantung pada buku terbitan penerbit komersial.

Pada awal semester, biasanya setiap kelas menyusun kontrak belajar yang ditetapkan bersama oleh masing-masing guru dan murid-murid. Kontrak belajar ini menetapkan apa yang ingin dicapai selama satu semester, bagaimana mencapainya, bagaimana mengukur pencapaiannya, dan apa sanksi bagi siswa yang tidak menaati kontrak belajar.

Selain menetapkan kontrak belajar bersama murid-murid, guru juga mengembangkan rencana pelajaran (lesson plan), yang menjadi pembimbing kegiatan di kelas. Rencana pelajaran ini biasanya berisi kegiatan apa yang akan dilakukan untuk memfasilitasi murid-murid mempelajari konsep, teori atau informasi yang mereka perlukan. Jadi pelajaran disampaikan melalui aktivitas murid-murid, bukan melalui ceramah guru.

Dalam setiap jam pelajaran, guru memakai kegiatan yang sangat beragam untuk menyampaikan pelajarannya. Misalnya, di kelas tertentu anak-anak berpakaian militer dan melakonkan perang ketika mencoba memahami sejarah perang kemerdekaan. Di kelas yang lain anak-anak menakar tepung dan berbagai bahan adonan untuk membuat kue ketika belajar tentang satuan berat. Di kelas yang lain anak-anak bermain bola basket ketika belajar teori fisika. Di kelas yang lain lagi, anak-anak melakukan berbagai permainan ketika belajar Agama. Belum lagi berbagai kegiatan di laboratorium, di gymnasium, di ruang musik, di dapur, di lapangan olah raga, dan lain-lain.

Penilaian kelulusan mata pelajaran biasanya didasarkan pada tulisan-tulisan (paper) siswa, juga pada keterlibatan dan performa siswa dalam setiap kegiatan belajar. Ketika berkesempatan membaca tulisan-tulisan mereka, penulis mendapati bahwa tulisan-tulisan itu bahkan lebih baik daripada tulisan kebanyakan mahasiswa tingkat sarjana. Ada juga ujian tertulis, tetapi porsinya sangat sedikit, dan biasanya berupa esai.

Yang paling mengesankan, setiap guru berusaha agar setiap siswa benar-benar menguasai apa yang dipelajarinya. Mereka siap membantu agar setiap siswa berhasil melakukannya.

Tidak heran kalau tingkat kenakalan di sekolah ini sangat rendah. Anak-anak yang sibuk dan asyik dengan kegiatan belajar yang begitu menyenangkan tentu tidak punya waktu untuk kegiatan yang merusak.

Semoga semakin banyak sekolah yang mengikuti teladan sekolah ini.