Senin, 07 Desember 2009

METAFORA

Metafora adalah suatu gambaran yang kita pilih untuk menggambarkan keadaan, sifat atau kegiatan manusia. Misalnya, kita dapat menggambarkan pendidikan sebagai sebuah perlombaan atau bahkan sebuah medan pertempuran. Tetapi kita juga dapat menggambarkan pendidikan sebagai sebuah perjalanan, atau bahkan sebuah tarian.

Setiap metafora secara cepat menstimulasi seperangkat gambaran yang hidup dan sangat berpengaruh, dan menentukan sikap dan tingkah laku kita selanjutnya. Misalnya, kalau kita menggambarkan pendidikan sebagai sebuah perlombaan atau pertempuran, dalam pikiran kita akan segera muncul gambaran orang-orang yang melakukan segala usaha untuk memenangkan perlombaan atau pertempuran itu. Dalam metafora ini, setiap orang adalah saingan atau musuh yang harus dikalahkan. Semua pihakpun kemudian bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan gambaran ini: bersaing dan berusaha saling mengalahkan baik antara sesama peserta didik maupun antara peserta didik dengan pendidik.

Sebaliknya, kalau kita menggambarkan pendidikan sebagai sebuah perjalanan, segera muncul gambaran orang-orang yang melakukan perjalanan untuk mencapai tujuan bersama-sama, mungkin sambil bercakap-cakap dan berinteraksi dalam perjalanan itu. Ada tujuan bersama. Dan sambil menuju tujuan itu setiap orang membagikan cerita hidupnya dan mendengarkan cerita hidup teman seperjalanannya.

Kalau kita menggambarkan pendidikan sebagai sebuah tarian, segera muncul gambaran orang-orang yang bergerak mengikuti irama musik yang mengiringi tarian, dan orang-orang yang bergerak harmonis, yang seorang bergerak ke depan yang lain mundur mengimbangi, dan selanjutnya bertukar gerakan. Setiap orang mengisi atau melengkapi gerakan yang lain, sehingga tercipta keindahan karena harmoni gerakan mereka. Semua pihakpun kemudian bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan gambaran ini: berinteraksi dan bekerja sama dalam proses pembelajaran.

Metafora yang pertama, yaitu pendidikan sebagai sebuah perlombaan atau medan pertempuran, rasanya paling banyak di pakai dalam sistem pendidikan kita. Hal ini ditandai dengan penekanan yang sangat besar pada evaluasi hasil belajar daripada proses belajar itu sendiri. Selain itu, penilaian keberhasilan seorang siswa sering ditetapkan berdasarkan kedudukan nilai ujiannya di antara siswa-siswa yang lain. Akibatnya, lihatlah betapa menjamur pusat-pusat bimbingan belajar atau bimbingan tes, yang menunjukkan bahwa setiap siswa didorong untuk mengalahkan siswa yang lain dengan memakai cara-cara yang lebih cerdik. Lihatlah juga betapa pemerintah, yang dalam hal ini diwakili Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) ngotot mempertahankan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang bermasalah itu.

Metafora ini menempatkan anak didik dalam mode bertahan hidup (survival mode) yang sudah terbukti tidak mendukung pembelajaran yang bermakna.

Metafora yang kedua, yaitu pendidikan sebagai sebuah perjalanan atau tarian, menggambarkan pendidikan sebagai wadah untuk mengasah diri, untuk berkontribusi terhadap kehidupan. Ini mungkin sebuah utopia, tetapi sesuatu yang layak untuk dipertimbangakan, karena metafora ini menempatkan anak didik dalam mode ekplorasi (exploration mode) yang sudah terbukti sangat mendukung pembelajaran dan berkembangnya kreativitas anak.

Dalam metafora ini, sistem pendidikan harus memberikan wadah dan kesempatan untuk anak melakukan ekplorasi, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap dunianya. Ekplorasi yang dilakukan dengan rasa aman, akan memberikan kesempatan anak menemukan tentang dirinya sendiri dan dunianya. Anak akan mengetahui kemampuannya dan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan oleh dunianya. Dengan demikian anak akan diperlengkapi untuk hidup dan menghidupi dunianya.

Sistem pendidikan juga seharusnya mewadahi dan mempersiapkan seorang anak untuk berkontribusi terhadap kemanusiaan. Jadi bahkan semasih dalam masa pendidikan, di sekolahnya, anak diajak untuk melihat potensi dirinya dan potensi teman-teman sebayanya, dan memikirkan apa yang bisa diberikannya untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini akan menyiapkan anak untuk juga memikirkan bagaimana sebagai orang dewasa dia akan bisa berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kemanusiaan, yang jauh lebih besar daripada tujuan pribadinya.

Lebih jauh lagi, pendidik tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya sumber informasi dalam belajar, tetapi sebagai teman seperjalanan yang juga terus berkembang melalui dialog atau interaksi yang membangun dengan anak didiknya. Jadi tidak akan ada lagi masalah tentang pengembangan diri guru seperti yang terjadi sekarang ini, karena setiap proses pembelajaran menyediakan wadah dan kesempatan bagi guru untuk terus mengembangkan diri. Tentu saja guru masih perlu berdialog dan berinteraksi dengan pendidik-pendidik yang lain untuk mendukung pengembangan diri yang berkesinambungan, tetapi bahkan di sinipun dialog atau interaksi tersebut adalah antara teman-teman seperjalanan.

Seorang teman pernah berkomentar tentang metafora pendidikan sebagai perjalanan ini: "Cumi, cuma mimpi". Dia mungkin benar. Tetapi saya memilih untuk berani bermimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar