Membaca visi dan misi J & J, khususnya yang berkaitan
dengan bidang pendidikan membuat aku berpikir apakah JOKOWI pernah mengintip
tulisan-tulisanku, baik di blog (http://transformationallearninginstitute.blogspot.com/)
maupun di halaman Facebookku.
Sudah bertahun-tahun aku mengusulkan dan memperjuangkan
penghapusan ujian akhir nasional, dan mengusulkan dikuranginya beban kurikulum
nasional dengan memberi kesempatan yang lebih besar untuk sekolah merancang
muatan-muatan lokal yang lebih sesuai untuk kebutuhan anak. J & J memasukan semua itu dalam visi dan
misi mereka. Hal ini memberikan harapan segar bagi kemajuan pendidikan di
Indonesia.
Sistem pendidikan yang ada sekarang, yang menekankan keseragaman
dan standarisasi merupakan produk era pertanian dan era industri massal. Pada era itu perkembangan produk baru
berjalan sangat lambat, dan lebih mementingkan produksi dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya. Hal itu karena
persaingan masih sedikit, dan perusahaan-perusahaan yang menguasai teknologi
masih terbatas jumlahnya, sehingga pilihan produk masih terbatas. Karena itu apapun kualitas produk yang
ditawarkan akan dibeli oleh konsumen.
Pada era itu penyeragaman dan standarisasi merupakan hal yang penting
dan sangat berguna, karena akan meningkatkan efisiensi. Standarisasi akan memungkinkan
komponen-komponen saling dipertukarkan, sehingga memudahkan produksi secara
massal.
Pada era informasi dan industri kreatif sekarang ini,
keadaan sudah jauh berbeda. Jumlah
perusahaan sudah terlalu banyak.
Persaingan begitu kuat. Laju
pengembangan produk sangat cepat.
Perusahaan dituntut untuk menciptakan produk baru, bukan lagi dalam
hitungan puluhan tahun atau bahkan tahunan, tetapi semester. Kegegalan untuk menciptakan produk baru dalam
waktu yang singkat akan membawa konsekuensi yang besar terhadap kemajuan
perusahaan, bahkan menentukan apakah perusahan akan bertahan hidup dalam
beberapa tahun ke depan. Kasus Black
Berry yang hanya beberapa tahun yang lalu pernah merajai pasar telepon pintar
dan sekarang dalam keadaan megap-megap merupakan contoh yang sangat jelas.
Untuk dapat bertahan dan bertumbuh di era ini diperlukan
orang-orang yang mampu berpikir kreatif dan inovatif, orang-orang yang biasa
berpikir mandiri, bahkan berani mengambil resiko ditolak oleh orang-orang di
sekitarnya. Selain itu orang juga harus
mampu bekerja sama dengan semua golongan, karena skala tantangan yang akan
semakin besar. Hal ini jelas tidak dapat
diharapkan dari sistem pendidikan yang sangat sentralistik, dengan kurikulum
yang semuanya diatur dari pusat. Bahkan
guru-guru harus mengikuti pakem yang sudah ditetapkan oleh orang-orang yang
tidak tahu keadaan di lapangan.
Orang-orang yang menyusun kurikulum tanpa mempertimbangkan perbedaan
konteks sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Orang-orang yang menyusun
kurikulum di meja kerja yang nyaman, jauh dari gigitan nyamuk dan udara panas
dan lembab.
Ditambah lagi penyeragaman cara evaluasi hasil belajar di
seluruh Indonesia, dengan soal-soal pilihan berganda yang jelas-jelas mematikan
inisiatif. Jadi dari hulu ke hilir sistem
pendidikan kita sudah dirancang untuk menciptakan anak-anak yang serupa satu sama lain, yang seragam, yang
standar. Perbedaan tidak dihargai bahkan
dilecehkan dalam sistem pendidikan seperti ini.
Kalau mau dianggap berhasil, anak harus memahami dan mengikuti pikiran
guru, bahkan pikiran para penyusun kurikulum nun jauh di sana.
Sistem pendidikan seperti ini yang saya sebut sebagai sistem
pendidikan bonsai, di mana anak dibentuk seperti sebuah bonsai dibentuk oleh
seorang pebonsai. Anak ditekuk,
dipangkas, bahkan dipatahkan kalau perlu, supaya bentuknya sesuai dengan
keinginan sang ahli bonsai.
Hasil dari pendidikan seperti ini adalah anak yang
bergantung, tidak mandiri, tidak berinisiatif, tidak menyukai perbedaan, tidak
toleran dan rapuh. Anak jadi sangat
tergantung pada kelompok internalnya.
Fanatisme kelompok sangat tinggi.
Perbedaan dipandang sebagai ancaman, dan harus dicegah sebisa-bisanya,
kalau perlu dengan kekerasan. Atau, kalau merasa tidak cukup kuat untuk
memaksakan keinginan, bisa juga pakai puisi atau sindiran. Bukti-bukti hasil pendidikan semacam ini
dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan kita sekarang ini: tawuran
pelajar, perusakan rumah ibadah kelompok yang berbeda dari kita, dan
seterusnya. Silakan menambahkan daftar
Anda sendiri.
Sistem pendidikan yang baru seharusnya menghilangkan
penyeragaman. Setiap sekolah diberi
ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan kurikulum yang paling sesuai dengan
kebutuhan anak dalam konteksnya. Hal ini
bertujuan agar anak dapat hidup dengan berhasil dan bahagia karena memiliki
pengetahuan dan ketrampilan yang cocok dengan konteksnya. Anak difasilitasi untuk mengembangkan
bakat-bakat alaminya, bukannya dipaksa untuk berkembang serupa dengan
teman-teman sekelasnya. Anak juga
didorong untuk menghargai anak-anak lain yang berbeda dari dirinya. Guru juga menghargai perbedaan dan tidak
memaksa anak memiliki pikiran yang sama dengan dirinya. Dalam pendidikan seperti ini, perbedaan
dianggap sebagai kekayaan, bukannya ancaman. Hal ini karena perbedaan dianggap dapat
memberikan lebih banyak pilihan dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru.
Sistem pendidikan seperti ini yang saya sebut sistem
pendidikan petani, di mana anak diperlakukan sebagai benih yang ditanam di
tanah yang subur, disirami, dipupuk dan disiangi gulma yang ada di sekitarnya,
supaya potensinya dapat diwujudkan sepenuhnya. Peranan guru yang utama adalah
mendorong dan memfasilitasi anak belajar.
Anak sendiri yang akan mengembangkan bakat alaminya.
Hasil dari pendidikan seperti ini adalah anak yang berani
berpikir mandiri, penuh inisiatif, inovatif, toleran dan sangat fleksibel, sehinggah
sangat tangguh.