Kamis, 22 Mei 2014

Pendidikan yang Menghargai Perbedaan



Membaca visi dan misi J & J, khususnya yang berkaitan dengan bidang pendidikan membuat aku  berpikir apakah JOKOWI pernah mengintip tulisan-tulisanku, baik di blog  (http://transformationallearninginstitute.blogspot.com/) maupun di halaman Facebookku.
Sudah bertahun-tahun aku mengusulkan dan memperjuangkan penghapusan ujian akhir nasional, dan mengusulkan dikuranginya beban kurikulum nasional dengan memberi kesempatan yang lebih besar untuk sekolah merancang muatan-muatan lokal yang lebih sesuai untuk kebutuhan anak.  J & J memasukan semua itu dalam visi dan misi mereka. Hal ini memberikan harapan segar bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Sistem pendidikan yang ada sekarang, yang menekankan keseragaman dan standarisasi merupakan produk era pertanian dan era industri massal.  Pada era itu perkembangan produk baru berjalan sangat lambat, dan lebih mementingkan produksi dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.  Hal itu karena persaingan masih sedikit, dan perusahaan-perusahaan yang menguasai teknologi masih terbatas jumlahnya, sehingga pilihan produk masih terbatas.  Karena itu apapun kualitas produk yang ditawarkan akan dibeli oleh konsumen.  Pada era itu penyeragaman dan standarisasi merupakan hal yang penting dan sangat berguna, karena akan meningkatkan efisiensi.  Standarisasi akan memungkinkan komponen-komponen saling dipertukarkan, sehingga memudahkan produksi secara massal.
Pada era informasi dan industri kreatif sekarang ini, keadaan sudah jauh berbeda.  Jumlah perusahaan sudah terlalu banyak.  Persaingan begitu kuat.  Laju pengembangan produk sangat cepat.  Perusahaan dituntut untuk menciptakan produk baru, bukan lagi dalam hitungan puluhan tahun atau bahkan tahunan, tetapi semester.  Kegegalan untuk menciptakan produk baru dalam waktu yang singkat akan membawa konsekuensi yang besar terhadap kemajuan perusahaan, bahkan menentukan apakah perusahan akan bertahan hidup dalam beberapa tahun ke depan.  Kasus Black Berry yang hanya beberapa tahun yang lalu pernah merajai pasar telepon pintar dan sekarang dalam keadaan megap-megap merupakan contoh yang sangat jelas.
Untuk dapat bertahan dan bertumbuh di era ini diperlukan orang-orang yang mampu berpikir kreatif dan inovatif, orang-orang yang biasa berpikir mandiri, bahkan berani mengambil resiko ditolak oleh orang-orang di sekitarnya.  Selain itu orang juga harus mampu bekerja sama dengan semua golongan, karena skala tantangan yang akan semakin besar.  Hal ini jelas tidak dapat diharapkan dari sistem pendidikan yang sangat sentralistik, dengan kurikulum yang semuanya diatur dari pusat.  Bahkan guru-guru harus mengikuti pakem yang sudah ditetapkan oleh orang-orang yang tidak tahu keadaan di lapangan.  Orang-orang yang menyusun kurikulum tanpa mempertimbangkan perbedaan konteks sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Orang-orang yang menyusun kurikulum di meja kerja yang nyaman, jauh dari gigitan nyamuk dan udara panas dan lembab.
Ditambah lagi penyeragaman cara evaluasi hasil belajar di seluruh Indonesia, dengan soal-soal pilihan berganda yang jelas-jelas mematikan inisiatif.  Jadi dari hulu ke hilir sistem pendidikan kita sudah dirancang untuk menciptakan anak-anak yang  serupa satu sama lain, yang seragam, yang standar.  Perbedaan tidak dihargai bahkan dilecehkan dalam sistem pendidikan seperti ini.  Kalau mau dianggap berhasil, anak harus memahami dan mengikuti pikiran guru, bahkan pikiran para penyusun kurikulum nun jauh di sana. 
Sistem pendidikan seperti ini yang saya sebut sebagai sistem pendidikan bonsai, di mana anak dibentuk seperti sebuah bonsai dibentuk oleh seorang pebonsai.  Anak ditekuk, dipangkas, bahkan dipatahkan kalau perlu, supaya bentuknya sesuai dengan keinginan sang ahli bonsai.
Hasil dari pendidikan seperti ini adalah anak yang bergantung, tidak mandiri, tidak berinisiatif, tidak menyukai perbedaan, tidak toleran dan rapuh.  Anak jadi sangat tergantung pada kelompok internalnya.  Fanatisme kelompok sangat tinggi.  Perbedaan dipandang sebagai ancaman, dan harus dicegah sebisa-bisanya, kalau perlu dengan kekerasan. Atau, kalau merasa tidak cukup kuat untuk memaksakan keinginan, bisa juga pakai puisi atau sindiran.  Bukti-bukti hasil pendidikan semacam ini dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan kita sekarang ini: tawuran pelajar, perusakan rumah ibadah kelompok yang berbeda dari kita, dan seterusnya.  Silakan menambahkan daftar Anda sendiri.
Sistem pendidikan yang baru seharusnya menghilangkan penyeragaman.  Setiap sekolah diberi ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan kurikulum yang paling sesuai dengan kebutuhan anak dalam konteksnya.  Hal ini bertujuan agar anak dapat hidup dengan berhasil dan bahagia karena memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cocok dengan konteksnya.  Anak difasilitasi untuk mengembangkan bakat-bakat alaminya, bukannya dipaksa untuk berkembang serupa dengan teman-teman sekelasnya.  Anak juga didorong untuk menghargai anak-anak lain yang berbeda dari dirinya.  Guru juga menghargai perbedaan dan tidak memaksa anak memiliki pikiran yang sama dengan dirinya.  Dalam pendidikan seperti ini, perbedaan dianggap sebagai kekayaan, bukannya ancaman.  Hal ini karena perbedaan dianggap dapat memberikan lebih banyak pilihan dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru.
Sistem pendidikan seperti ini yang saya sebut sistem pendidikan petani, di mana anak diperlakukan sebagai benih yang ditanam di tanah yang subur, disirami, dipupuk dan disiangi gulma yang ada di sekitarnya, supaya potensinya dapat diwujudkan sepenuhnya. Peranan guru yang utama adalah mendorong dan memfasilitasi anak belajar.  Anak sendiri yang akan mengembangkan bakat alaminya.
Hasil dari pendidikan seperti ini adalah anak yang berani berpikir mandiri, penuh inisiatif, inovatif, toleran dan sangat fleksibel, sehinggah sangat tangguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar