Rabu, 01 April 2020

COVID-19, LOCKDOWN DAN KRISIS EKSISTENSIAL

Oleh: Berton Turnip

“Lockdown” menjadi kosa kata yang akrab dengan telinga hari-hari belakangan ini, sejak merebaknya wabah covid-19 yang berasal dari daratan China, khususnya di kota Wuhan di Propinsi Hubei. Banyak orang, bukan hanya orang biasa, tetapi juga para pejabat, yang mendengar kata ini tidak memahami makna sesungguhnya dan konsekuensinya.
Wikipedia mendefinisikan “lockdown” sebagai berikut
 A lockdown is an emergency protocol that usually prevents people or information from leaving an area. The protocol can usually only be initiated by someone in a position of authority.  
Lockdown adalah tindakan darurat dengan melarang orang atau informasi keluar atau masuk dari dan ke suatu wilayah. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk membatasi penyebaran wabah penyakit, khususnya covid-19, yang sedang melanda negara-negara di seluruh dunia, dengan membatasi pergerakan manusia dari satu negara ke negara lain, atau dari satu wilayah ke wilayah lain di dalam suatu negara. Sebelum melakukan lockdown, ada beberapa langkah pendahuluan yang perlu dilakukan. Langkah pertama adalah menginformasikan berbagai tindakan yang dapat dilakukan masyarakat untuk melindungi diri dari wabah ini. Misalnya ada petunjuk tentang bagaimana mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, bagaimana memakai masker untuk melindungi dari kemungkinan terkena droplet dari orang yang sudah tertular covid-19. Dan seterusnya. Juga ada anjuran untuk physical distancing, dan work from home. Langkah berikutnya adalah melakukan karantina terbatas, yaitu dengan mengatur agar orang-orang tinggal di rumah dan tidak bepergian ke tempat-tempat keramaian. Orang hanya diperbolehkan keluar rumah untuk keperluan yang penting, seperti belanja makanan dan keperluan dasar lainnya, atau untuk berobat. Anak-anak sekolah belajar di rumah. Orang-orang dewasa bekerja di rumah. Bahkan kegiatan ibadah dilakukan di rumah. Hal ini dimungkinkan oleh tersedianya berbagai teknologi komunikasi yang memungkinkan anak-anak belajar di rumah, orang dewasa bekerja di rumah dan ibadah dilakukan di rumah.
Kalau semua langkah tersebut sudah dilakukan tetapi penyebaran virus ini masih terus terjadi dengan kecepatan yang menguatirkan, maka akan dilakukan lockdown.
Keputusan untuk melakukan lockdown bukan keputusan yang mudah. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan kalau akan dilakukan lockdown.
Pertama, kesiapan logistik, yaitu ketersediaan bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya dan ketersediaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan di wilayah yang dilockdown.  Kedua, kesiapan aparat keamanan untuk memastikan bahwa lockdown dilaksanakan dengan baik. Keempat, kesiapan dan ketersediaan tenaga medis dalam jumlah yang cukup dan dengan kemampuan yang memadai. Faktor keempat ini kelihatannya justru yang paling tidak siap.  Melakukan lockdown terhadap suatu wilayah sama seperti membiarkan wilayah itu berjuang sendirian, agar wilayah lain lebih ringan bebannya. Kelima, harus diingat bahwa lockdown akan meningkatkan stress di antara penduduk wilayah yang mengalami lockdown, sehingga akan menurunkan imunitas mereka. Hal ini justru akan menurunkan kemampuan masyarakat untuk melindungi dan memulihkan diri, serta memperburuk situasi wilayah yang dilockdown. Keenam, harus diingat juga bahwa lockdown akan sangat mempengaruhi perekonomian bukan saja di wilayah yang dilockdown tetapi juga wilayah-wilayah yang memiliki hubungan perdagangan dengan wilayah yang dilockdown. Dengan kata lain, lockdown memiliki konsekuensi dan dampak yang sangat luas.
Selain kerumitan mengatasi wabah ini, ada beberapa hal yang terungkap dari adanya wabah covid-19 dan desakan untuk melakukan lockdown ini.
Ketakutan.  Hal pertama dan paling menonjol adalah ketakutan yang dialami oleh sabagian besar anggota masyarakat. Ini wajar saja mengingat bahwa virus ini begitu mudah tersebar, tidak memandang bulu dan cukup mematikan. Ketakutan akan kematian ini kadang begitu besar sampai membuat orang tidak mampu berpikir tenang dan jernih. Banyak keputusan-keputusan diambil berdasarkan ketakutan ini. Tentu saja keputusan-keputusan yang diambil karena ketakutan akan menghasilkan tindakan yang tidak masuk akal. Misalnya, ada mayat yang diterlantarkan berjam-jam karena orang-orang takut menyentuhnya. Bahkan ada tempat yang menolak orang yang meninggal karena covid-19 dikuburkan di pekuburan di tempat itu, walaupun almarhum adalah penduduk di tempat itu.
Keterpenjaraan pikiran.  Reaksi masyarakat terhadap wabah ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan anggota masyarakat tidak mampu berpikir merdeka dan kritis. Banyak informasi yang diterima begitu saja, tanpa mengevaluasi kebenarannya. Masyarakat bukannya berusaha mencari informasi yang dapat dipercaya tentang wabah ini, mencari tahu sifat virus dan mungkin cara melawannya. Sebaliknya anggota masyarakat tertentu mulai mereka-reka cerita yang tidak berdasarkan logika. Bahkan ada ulama yang menyebarkan cerita bahwa covid-19 merupakan tentara Allah yang akan membinasakan atau mempermalukan bangsa atau etnis tertentu, khususnya bangsa dan etnis China.
Pikiran yang picik ini membuat orang sulit untuk menilai dengan kritis situasi yang dihadapi, mencari solusi kreatif terhadap masalah yang ada.
Keterpisahan dan mementingkan diri sendiri (selfishness). Dari reaksi masyakat terhadap wabah ini terungkap bahwa ikatan sosial di antara berbagai kelompok masyarakat sangat lemah. Setiap kelompok tidak merasa sebagai bagian dari kelompok lainnya, dan karena itu merasa tidak dapat mengharapkan dukungan dari kelompok lain dalam menghadapi wabah ini. Setiap kelompok merasa berjuang sendiri-sendiri.
Sehubungan dengan itu, wabah covid-19 ini juga mengungkapkan watak manusia yang mementingkan diri sendiri. Hal ini terlihat dari banyaknya orang yang memborong alat-alat kesehatan dan bahan makanan serta kebutuhan lainnya tanpa memikirkan kebutuhan orang lain. Barang-barang menjadi sulit didapatkan dan harga-harga melonjak dengan luar biasa.
Hal ini memang tidak berlangsung lama dan tidak berlaku untuk semua orang. Setelah wabah berlangsung beberapa lama, mulai muncul orang-orang yang menyumbangkan uang atau barang atau apa saja yang dapat mereka sumbangkan.
Kebohongan dan informasi palsu. Di negara di mana segala sesuatu sudah dipolitisasi, wabah covid-19 ini juga menjadi obyek politisasi. Orang-orang yang tidak suka dengan lawan politiknya menyebarkan opini dan informasi yang tidak berdasar untuk menyerang lawan politiknya itu. Media-media juga banyak yang menyebarkan opini yang membuat informasi menjadi bias.  Bukannya memberikan data dan statistik dan analisa yang dilakukan dengan kepala dingin dan tidak memihak, banyak media membuat tafsiran sendiri sesuai dengan tujuannya. Hal ini justru memperburuk penanganan wabah ini, karena tidak ada kekompakan dalam usaha-usaha untuk mengatasi wabah ini, melainkan saling menyerang dan menyalahkan.
Delusi dan krisis eksistensial. Para ilmuwan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan (science) sudah memilki jawaban terhadap semua pertanyaan besar dan masalah manusia dan alam semesta. Wabah covid-19 ini mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi justru menciptakan masalah demi masalah yang kebanyakan tidak dapat dijawab atau diatasi oleh ilmu pengetahuan. Misalnya, sampai tulisan ini ditulis, para ilmuwan belum menemukan cara-cara yang manusiawi dan efektif untuk mengatasi wabah ini. Isolasi dan bahkan lockdown yang dianjurkan justru sangat tidak manusia, karena memisahkan orang terkena wabah dari orang-orang yang dikasihi dan mengasihinya. Orang yang sakit yang sesungguhnya paling membutuhkan dukungan, justru dipisahkan dari orang-orang yang dapat memberikan dukungan itu. Dalam kasus tertentu, korban yang meninggal justru diperlakukan dengan cara yang sangat tidak manusiawi: tidak dimandikan, tidak disholatkan, dibungkus dalam plastik, dan dikuburkan tanpa upacara yang layak, tanpa dihadari orang-orang yang seharusnya mengantarnya.  Tentu saja hal ini semakin menimbulkan stress yang luar biasa bagi orang-orang yang kuatir atau berpotensi tertular penyakit ini, yang pada gilirannya semakin membuatnya rentan karena menurunnya imunitas.
Wabah ini juga mengungkapkan betapa rentan eksistensi manusia. Keberadaan manusia terancam dari berbagai sudut. Begitu banyak hal yang bisa memusnahkan manusia dari muka bumi.